Ketika saya mau masuk Goa Langse di area Parangtritis, Jogya, di jalanan desa sebelum masuk Alas Gupit ada warung kecil jual kopi. Saya mampir untuk minum. Disini sudah ada dua gadis asal Italia. Mereka punya tujuan sama, tapi batal melulu.
Setelah omong-omong, mereka heran karena saya baru datang tetapi langsung akan turun ke Goa Langse. Dia juga tambah heran, ketika saya bilang hari itu juga saya akan balik lagi ke atas. Mereka geleng-geleng kepala karena dianggap semua itu tidak masuk akal.
Mereka mengaku, bahwa sudah seminggu ini menetap di The Queen of the South Hotel yang terletak tak jauh dari Alas Gupit. Rencana mereka hanya semalam dua malam menginap. Tapi karena tak kunjung berani menuruni Goa Langse, maka membengkak sampai seminggu. Entah mereka butuh berapa hari lagi untuk mencari keberanian itu, atau balik pulang.
Mendengar cerita keduanya, saya tersenyum dalam hati. Itu karena pemilik hotel itu beberapa bulan sebelumnya sudah bercerita pada saya. Dia bilang, hotelnya sangat prospektif. Selain untuk petinggi negara yang akan melakukan ritual, juga untuk orang-orang yang ketakutan. Ketakutan?
“Ya, disini ada Goa Siluman, ada Parang Endog, ada Goa Langse. Itu tempat seram-seram. Kalau dia menginap sehari tapi belum berani untuk datang ke tempat tadi, maka dia akan tambah lagi sehari atau entah berapa hari lagi,” kata Bonce yang warga Londo (Belanda) itu sambil tertawa ngakak.
Dan Bonce betul. Dua gadis Italia itu hanya buking kamar untuk dua hari, tapi telah membengkak menjadi seminggu. Mungkin banyak lagi tamu hotel ini yang seperti itu.
Namun juga sebaliknya, banyak pula tamu yang enggan untuk tidur di hotel ini. Letaknya yang persis di jantung mistik Jogya itu membuat banyak yang takut untuk tidur di hotel ini. Jangan lagi menginap, berdekat-dekat dengan area ini saja harus memutar otak. Tanya pada diri sendiri, berani nggak ya?
Dan itu tidak mengada-ada. Saya yang dekat dengan Bonce, dapat fasilitas apa saja di hotel ini. Komplimen. Suatu hari saya ajak teman saya, pelukis terkenal Jogya, Hardjiman, yang kini sudah almarhum, untuk menginap di hotel ini.
Sore habis makan, ngopi, sambil bergurau dengan Bonce, ketika matahari mulai menyentuh laut, sang teman dengan sedikit memaksa mengajak pulang. Ada rasa takut di rautnya. Dan ketika sudah di rumah Tamansari, Kota Jogya, dia terus terang bilang, bahwa dia memang ketakutan. Dia tidak berani untuk menginap di hotel Ratu Kidul itu.
Hotel ini memang aneh. ‘Insinyur’ yang mendesain semuanya adalah spiritualis. Juga pemilihan warna, nama-nama resto dan kamar. Malah tanah itu juga dibeli dengan ‘cara aneh’, termasuk pemiliknya sekarang, Bonce si Londo itu.
Tapi yang menarik, konsep Bonce terpaksa harus mengalah, ketika Pak Harto kala itu meminta itu. Maunya jalan ke hotel ini harus jalan kaki, tidak ada penerangan lampu dan barang elektronik di hotel ini. Tapi semua itu harus berubah. Panguasa Orde Baru itu datang, bermalam di hotel ini, dan meminta fasilitas di hotel ini layaknya hotel berbintang.
Jadilah The Queen of the South Hotel seperti sekarang ini. Ada jalan, listrik, televisi dan recepsionit. Kok tidak ada yang pernah membaca itu? Memang tidak ada yang berani memberitakan kala itu. Djoko Su’ud Sukahar