Bagi pecinta burung, burung perkutut menempati posisi yang amat penting. Itu bukan hanya karena warna bulu dan suaranya yang merdu, tetapi ada nilai lain dalam burung ini, yaitu sugesti.
Sugesti itu adalah kepercayaan, bahwa dengan memelihar burung ini, maka akan datang keberkahan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Itu yang menjadikan burung ini, terutama bagi Orang Jawa, posisinya tertulis dalam banyak serat dan babad.
Masyarakat Jawa yang masih memegang teguh konsep budaya Jawa, memang tidak bisa dilepaskan dari berbagai lambang-lambang. Lelaki Jawa beranggapan belum lengkap jika belum mendapatkan lima hal sebagai nilai pelengkap dalam hidupnya.
Kelima hal itu adalah: wisma, wanita, curiga, turangga, dan kukila. Menurut RT. Hardjo Suwarno, salah seorang abdi dalem Keraton Surakarta, wisma (rumah) menyiratkan, bahwa orang hidup harus mempunyai rumah atau tempat tinggal yang mapan. Itu sebagai kebutuhan pokok, yang selanjutnya bisa menciptakan terjadinya sosialisasi antar-sesamanya.
Wanita (perempuan), merupakan sosok istri atau pendamping dan sebagai lambang keindahan, curiga (keris) simbol sifat kandel (kekuatan) yang bisa menambah kepercayaan diri seseorang yang bersifat magis.
Sementara turangga (kuda) merupakan lambang transportasi untuk memudahkan dan memperlancar perjalanan. Sedang kukila (burung) merupakan simbol ketentraman batin karena bentuknya yang indah dan suaranya yang bagus.
“Dalam kehidupan rumah sehari-hari, suasana tentram dan damai salah satunya bisa dirasakan dari anggung (suara) yang merdu dari burung perkutut ini,” ujar Hardjo Suwarno.
Bagaimana kriteria suara burung perkutut yang baik? Menurut Hardjo Suwarno, anggung (suara) burung perkutut yang baik itu adalah yang bisa menimbulkan ketentraman hati dan menyentuh nurani yang paling dalam bagi orang yang memelihara atau mendengarkannya.
Hardjo Suwarno pun mengakui, memang banyak di antara jenis-jenis burung lainnya yang suaranya lebih bagus dari burung perkutut. Namun kenyataannya belum tentu dianggap “keramat” seperti burung perkutut.
Menurutnya, sejak Majapahit, burung perkutut yang mempunyai nilai “plus” dan dipercaya mempunyai “keramat” ini sudah dikenal. Di zaman itu ada sepasang burung perkutut yang amat kondang. Burung itu dinamakan Kiai Jaka Mangu dan Nyai Martengsari.
Memang dalam Babad Galuh Mataram diceritakan agak berbeda. Dalam serat ini disebut, bahwa Jaka Mangu itu adalah putra dari Prabu Brawijaya, sedang Martengsari adalah istri dari Jaka Mangu. Menantu Raja Majapahit.
Diceritakan, Jaka Mangu dan Martengsari ini tiba-tiba hilang tanpa diketahui keberadaannya. Peristiwa itu membuat hati Prabu Brawijaya terpukul.
Raja Majapahit itu memerintahkan para punggawa dan prajurit untuk mencari putranya itu. Namun, hingga beberapa tahun lamanya usaha pencarian itu tidak juga membuahkan hasil. Prabu Brawijaya semakin sedih, kemudian bersemadi meminta petunjuk Hyang Widi.
Dalam semadinya itu Prabu Brawijaya mendapat wangsit, bahwa kedua putranya itu kini telah menjelma menjadi sepasang burung perkutut. Setelah itu, Raja Majapahit memerintahkan para prajuritnya menemukan burung itu untuk dibawa pulang kembali ke Keraton.
Anggung sepasang perkutut ini teramat merdu. Karenanya, sepasang perkutut itu lantas dijadikan pusaka Keraton Majapahit yang dikeramatkan dan diberi nama Kiai Jaka Mangu dan Nyai Martengsari. Anehnya, Kedua perkutut ini bisa hidup sampai zamannya Prabu Brawijaya V atau Raja Majapahit yang terakhir.
Untuk konteks kekinian, mengapa burung perkutut masih dianggap keramat? Itu dimungkinkan karena budaya Keraton telah berhasil menciptakan mitos seperti itu. Mengingat, segala apa yang telah atau pernah dilakukan pihak Keraton, lebih-lebih yang menyangkut soal kepercayaan, biasanya langsung diterima dan diikuti masyarakat.
Maka jangan kaget, boleh teknologi terus maju, tetapi klangenan terhadap burung perkutut juga semakin membiak. jss