Indonesia masih diributkan dengan Resolusi Parlemen Uni Eropa (UE). Itu karena resolusi ini dianggap tidak berdasar, dan jauh dari kenyataan yang ada di lapangan.
Menurut Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), resolusi itu hanyalah propaganda. Tujuannya untuk melemahkan posisi sawit Indonesia dalam persaingan minyak nabati dunia .
“Dasar terbitnya resolusi itu tidak didasari fakta objektif di lapangan. Sangat tendensius, dan ancaman boikot produk minyak sawit untuk digantikan dengan minyak nabati lain. Semuanya tak lebih dari propaganda,” ungkapnya dalam acara buka puasa bersama di Jakarta, Selasa (31/5).
Menurut Joko, propaganda dagang ini juga mengarah ke Malaysia. Di Malaysia, komoditas minyak sawit menguasai 29,4% pangsa pasar minyak nabati dunia (Oil World).
Namun begitu, kata Joko, resolusi Parlemen Uni Eropa ini menjadi tamparan paling keras terhadap sektor kelapa sawit Indonesia. Sebab itu juga membuktikan, bahwa kampanye negatif terhadap sawit tak hanya dilakukan LSM asing, namun sudah melibatkan pemerintah dan parlemen luar negeri.
Kata Joko, ketika satu isu negatif bisa dipatahkan, isu hitam yang baru muncul lagi. Dan itu tidak akan berhenti, selama minyak sawit menjadi nomor satu dalam pasar minyak nabati dunia.
“Kampanye negatif sawit dari negara-negara produsen minyak nabati non sawit akan terus ada. Untuk itu, terkait resolusi itu, GAPKI menyampaikan terima kasih dan mendukung penuh langkah pemerintah RI dan DPR yang melawan resolusi itu,” katanya.
Kata Joko, data Oil World 2016, konsumsi minyak nabati dunia mencapai 177 juta juta ton dengan tambahan kebutuhan konsumsi 5 juta ton per tahun. Kebutuhan konsumsi ini antara lain dipenuhi minyak sawit sebesar 64 juta ton, soyabean 53,15 juta ton, rapeseed 27,65 juta ton, minyak bunga matahari 15,55 juta ton, dan sisanya oleh minyak nabati lain seperti kacang, kelapa, dan zaitun.
Untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa saat ini, ada lebih dari seratus jenis produk makanan dan produk-produk consumer goods non pangan seperti kosmetik, pasta gigi, deterjen, dan banyak lagi, yang berbahan baku minyak sawit.
“Hingga 20 tahun lagi, industri consumer goods yang berbasis di Amerika dan negara-negara Eropa Barat masih akan sangat menggantungkan keberlangsungan usahanya dengan bahan baku minyak sawit,” tambahnya.
Dibanding tanaman minyak nabati lain, produktivitas sawit adalah yang tertinggi yaitu 3,5 ton minyak sawit per hektar per tahun. Dengan produktivitas yang tinggi ini, maka hanya dengan lahan seluas 20 juta hektar di seluruh dunia, perkebunan kelapa sawit bisa menghasilkan minyak nabati lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pesaing.
Bahkan di 2016, kata Joko, produksi minyak sawit dunia mencapai 60,5 juta ton, atau menguasai pangsa pasar 29,4% dari total produksi minyak nabati dunia. Sedang produksi soyabean yang menguasai lahan 121,9 juta hektar, hanya menghasilkan 51 juta ton atau 24,8% dari total produksi minyak nabati dunia.
Dengan begitu, maka wajar jika minyak sawit Indonesia selalu diserang. Tujuannya, tentu untuk mengalahkan persaingaan, kendati dengan cara ang tidak sehat. jss