Nusantara

Fisip Unri Launching dan Beda Buku Kehampaan Hak

PEKANBARU - Sengkerut masalah lahan masyarakat dan perusahaan di Indonesia terus menguak. Hal Ini memotivasi beberapa NJO untuk melakukan beberapa penelitian dan menerbitkan sebuah buku berjudul Kehampaan Hak.

Sempenan hal tersebut, Fisip Unri dan Obor melaunchin dan membedah buka Kehampaan Hak dimana acara ini  dipimpin oleh moderator yang juga akademisi Universitas Riau, Doktor Saiman Pakpahan.

Hadir sebagai pembicara beberapa narasumber yakni Prof Ward Berenscot selaku peneliti dan penulis senior KITLV leiden dan Prof Afrizal, Guru Besar Sosiolgi Unand serta Bambang Putra Ermansyah sebagai pembahas.

Dalam keterangannya, Ward Berenschot menjelaskan bahwa terdapat banyak kasus kehampaan hak atas tanah dan perkebunan di Indonesia, teridentifikasi ada 150 kasus di berbagai wilayah indonesia.

"Menurut saya ada 2 persoalan umum yang mendasar mengapa begitu banyak persoalan ini terjadi di Indonesia. Pertama, perusahaan sawit mengambil lahan tanpa ada persetujuan apapun dari masyarakat adat.

Kedua adalah pola bagi untung atau yang biasa disebut plasma, dengan pengembalian 20 persen dari lahan yang dikuasai perusahaan namun ternyata hal itu tidak dilakukan oleh korporasi," katanya.

Dengan demikian, lanjut dia, maka ada indikasi pelanggaran hak masyarakat dalam pengelolaan perkebunan sawit yang ada di Indonesia khususnya Riau.

"Dan disinilah dimulainya kasus kehampaan hak itu," katanya.

Di atas kertas dan aturan Undang-undang, demikian Berenschot, WNI memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya.

Namun ternyata fakta atau kenyataan di lapangan, menurut dia perusahaan justru banyak melanggar hak-hak masyarakat.

"Bahkan hak bersuara dan memprotes korporasi, masyarakat justru dikekang dan dibungkam," katanya lagi.

Mengapa kehampaan hak ini terjadi di masyarakat adat dan pedesaan?

Secara umum menurut Berenschot, pemerintah mengakui adanya tanah adat adalah hak masyarakat adat, namun peraturan yang dibuat justru melemahkan hak-hak itu.

"Makanya ada yang namanya hukum pintu belakang, itu muncul karena demokrasi di Indonesia dikuasai oleh korporasi, bahkan anggota dewan di parlemen masing-masing memiliki perusahaan sendiri sehingga pintu belakang tadi hanya mengakomodir para pelaku korporasi dan legislator di parlemen yang memang melemahkan hak-hak masyarakat," katanya.

Menurut dia, banyak politisi termasuk wali kota dan bupati justru mendapatkan insentif dari banyak berusahaan perkebunan sawit yang ada di wilayahnya.

Akibatnya, lanjut dia, perusahaan bisa beroperasi secara ilegal atau tanpa izin, termasuk menggarap lahan di kawasan hutan dengan mengenyampingkan hak-hak masyarakat adat.

"Saat ini masyarakat tidak lagi percaya dengan aturan dan undang-undang yang ada di negara ini karena ternyata kehampaan itu sendiri terjadi pada sisi hukum yang berpihak pada korporasi," katanya. (Lin)


 


 


 


 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar