Nyiur

Nyiur Melambai di Negeri Seribu Parit

Nyiur Melambai di Negeri Seribu Parit
Seorang pekerja sedang membersihkan sabut yang masih menempel.

Sedangkan sabut kelapa dibeli kilang pengolahan sabut dari masyarakat lalu diolah menjadi cocofiber dan cocofeat. Untuk satu keranjang rotan besar yang biasanya dipakai di kebun sawit, anak-anak pengumpul sabut diberi Rp 10.000.

Sebelum Covid 19 cocofiber laris manis dijual ke Cina. "Kita baru mau produksi agennya sudah ngasih DP sampai Rp 20 juta," kata H M Tambunan, seorang pengelola kilang sabut di Desa Umbut-umbut, Kisaran. Ini sebagai pertanda serat sabut kelapa sangat dibutuhkan.

Setiap bulan mereka bisa menghasilkan 30 ton cocofiber. Harga jualnya Rp 2.500 per kilogram. Sedangkan cocopeat yang sebenarnya hanya limbah bisa laku Rp 15.000 sekarung ukuran 80 kilogram.

Menurut Jasman, pengelola kilang sabut di Air Joman (dekat kampung halaman Ustad Abdul Somad di Desa Sei Silau, Asahan), saat ini ekspor ke Cina masih terhenti. Tapi mereka tetap menggiling sabut untuk diambil cocopeatnya. Sedangkan cocofibernya disimpan dulu. Ada satu HTI di Porsea, dan dua HTI di Riau yang rutin menampung cocopeat mereka.

Setakat ini, tambah Jasman, ada delapan kilang sabut kelapa yang masih tetap beroperasi. Mereka berebutan mencari bahan baku sabut dari kebun kelapa di sana yang cuma seluas 23 ribu hektare. Namun kapasitas produksi tetap terpenuhi. Memang terkadang terpaksa harus mendatangkan sabut dari Aceh dan kawasan sekitar. Ironis jika dibandingkan  dengan sabut kelapa di Inhil yang maha banyaknya. Tapi hingga kini masih terbuang jadi sampah. (irwan e. siregar)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index