JAKARTA - Akademisi menilai penegakan hukum dalam kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pembayaran PSDH dan DR perlu kecermatan dalam memahami regulasi bidang Kehutanan.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Dr Sadino, SH, MH mengatakan, perusahaan perkebunan yang tidak membuka hutan, oleh karena perolehannya hasil membeli atau akuisisi, tak ada kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Apalagi mereka mendapatkannya dari membeli atau hasil lelang.
Sebenarnya, bagaimana definisi PSDH dan DR dalam UU No. 41 th 1999 tentang Kehutanan? Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Sementara, Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari "pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan."
“Ketentuan PSDH dan DR lahir dari Pasal 35 UU No. 41 th 1999 tentang Kehutanan ayat (1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan Iuran Izin Usaha, Provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 9/2/2023.
Menurut sadino, jika dilihat dari aturan hukumnya, PSDH dan DR mempunyai prasyarat subyek hukumnya adalah " Setiap pemegang izin pemanfaatan hutan", sedangkan izin perkebunan bukan dalam kategori dalam ketentuan ini.
“Maka perlunya lebih diteliti terhadap penggunaan aturan dan izinnya. Karena izin perkebunan dari Bupati, sedangkan izin usaha pemanfaatan hutan dari Menteri,” tegas Sadino.
Sehingga, lanjutnya, perusahaan di bidang perkebunan yang tidak melakukan pembukaan hutan tak memiliki kewajiban membayar PSDH dan DR, sehingga tidak bisa dipidana apalagi pidana korupsi. Karena kewajiban membayar PNBP berupa PSDH dan DR adalah perusahaan yang mempunyai izin prmanfaatan hasil hutan di bidang kehutanan.
“Jadi fokusnya PSDH dan DR tentu pemilik izin yang membuka pada saat awal membuka lahan untuk perkebunannyaada perusahaan perkebunannya, sebelum menjualnya ke pihak lain,” kata Sadino.
Sadino menjelaskan, mestinya pembuktiannya terkait PSDH dan DR lebih cermat kesitu, sedangkan pemerintah harus memilah-milah melalui aturan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021.
“Ya tentunya dalam penegakan hukum menghormati upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan keterlanjuran kehutanan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021. Saat ini belum waktunya dilakukan penegakan hukum karena batas waktu UU Cipta Kerja adalah 2 November 2023,” tegas Sadino.
Sadino berpendapat, adanya ketentuan tersebut karena kebijakan yang selama ini tidak konsisten terkait regulasi negara yang tidak harmonis dan saling tumpang tindih aturan hukumnya telah dilakukan evaluasi oleh pemerintah.
“Setiap orang atau badan hukum apabila terlanjur melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki izin tidak bisa dipidana namun hanya dilakukan tindakan administratif dan diberikan jangka waktu selama tiga tahun sejak berlakunya Undang-undang Cipta Kerja," tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk membenahi dokumen-dokumen yang masih kurang untuk memenuhi syarat administratif perizinan yang masih kurang khususnya terkait tara ruang dengan kehutanan, sebagai landasan hukum kegiatan perkebunannya.
Menentukan apakah karena tidak membayar PSDH dan DR terus itu masuk dalam kategori korupsi ya tentu pembuktian perolehan seperti HGU dan perizinan lainnya perlu diteliti kebenarannya.
“Tidak masuk akal setiap perusahaan diwajibkan membayar PSDH dan DR. Karena tak melakukan pembukaan lahan dan hanya membeli/akuisisi atau meneruskan usaha pihak lain,” katanya.
Sadino menjelaskan, banyak pemegang HGU mendapatkannya dari akuisisi atau jual beli, lelang lembaga perbankan dan juga dari BPPN disaat krisis moneter 1998. Sehingga, tak semua pemegang HGU memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) begitu juga pemegang IPK bukan otomatis pemegang izin pelepasan kawasan hutan.
“HGU didapatkan dari akuisisi atau jual beli dan lelang yang dilakukan perbankan dan BPPN disaat krisis moneter 1998. Waktu itu, banyak pemegang HGU kesulitan meneruskan usahanya karena kesulitan modal. Sehingga HGU yang perjualbelikan, apalagi menurut aturan jual beli HGU tak dilarang,” kata Sadino.
Menurut Sadino, karena investor mendapatkan HGU dari lelang atau membeli maka sebagian besar tidak memiliki IPK. Alasannya, HGU adalah hak atas tanah yang berarti bukan kawasan hutan sehingga untuk apa mengurus IPK.
“Ketelusuran regulasi penting karena tak semua lahan bisa dijadikan perkebunan. Apalagi, sebagian besar lahan sudah tak berhutan sehingga sulit menghitung PSDH dan DR,” katanya.
Sadino mempertanyakan, darimana muncul hitungan kerugian sekian triliun rupiah tanpa melakukan penelitian, kondisi lahan saat itu saja masih sulit dibayangkan.
Di masa lalu lahan hutan sudah terbagi habis dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Apakah itu semua bisa sudah diungkapkan dalam persidangan korupsi. Sebab, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu menghitung kerugian masa lampau.
“Hebat sekali, bisa menghitung kerugian yang terjadi masa lampau dengan waktu yang cepat. Pertanyaanya, apakah sekarang ada teknologi yang mampu merekonstruksi ulang, berapa luas areal yang berhutan, berapa volume kayunya. Sepengetahuan saya tidak ada. Hitungan itu pasti hanya berdasarkan asumsi. Masa menghukum orang berdasarkan asumsi belaka?” tanya Sadino.
Menurut Sadino, pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya hutan diatur Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dikenal dengan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Menurut Sadino, pengaturan PSDH dan DR diatur melalui UU No 41/1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
“Pasal 35 ayat (1), PSDH dan DR itu lahir karena adanya izin usaha pemanfaatan Kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan bukan kayu yang diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah,” kata Sadino.
Selanjutnya PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 1 angka 26 Provisi Sumber Daya Hutan adalah “pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Permen Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Penggantian Nilai Tegakan dan ganti Rugi Tegakan.
“Izin Pemenfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK yang merupakan izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari APL yang telah diberikan peruntukan,” kata Sadino.
Menurut Sadino, sejatinya IPK sebenarnya tidak sesuai dengan definisi izin usaha yang diatur dalam PP 34 tahun 2002 maupun PP 6 tahun 2007 karena pelepasan kawasan hutan bukan dalam kategori izin usaha sektor kehutanan.
“IPK adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan HPK, penggunaan dengan status pinjam pakai, tukar menukar, dan dari APL atau kawasan budidaya non kehutanan (KBNK). Tidak otomatis pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan adalah pemegang IPK,” tegas Sadino.
Sehingga, lanjut Sadino, dengan adanya ketentuan Pasal 110A dan 110B dalam UUCK dan Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, para pelaku usaha akan dikenakan pembayaran PSDH dan Dana Reboisasi (DR).
“Disini berarti kesalahan ada pada Pemerintah yang disebabkan ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan dalam pemberian izin perkebunan, maka diterbitkan PP 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan yang wajib menyelesaikan persyaratan sampai 2 November 2023,” pungkas Sadino.(lin)