Nusantara

Penyelesaian Kawasan Hutan Tak Ada Pidana, Hanya Sanksi Administratif

JAKARTA - Undang-undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 untuk menyelesaikan persoalan tumpeng tindih kawasan hutan.  Setiap perizinan yang terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk membenahi dan memenuhi persyaratan.

Pakar Hukum Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Dr Sadino, SH., MH menyatakan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi. Jika ada permasalahan izin, bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara korupsi.

Menurut Sadino, hal itu, diatur dengan  Perpu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal  110A. Dimana kegiatan usaha didalam kawasan hutan dan memiliki perizinan berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun.

“Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 19/1/2022.

Menurut Sadino, pelaku usaha pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak masuk ruang lingkup tindak pidana korupsi.

“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana. Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” tegas Sadino.

Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UUCK menggunakan Asas Hukum "Ultimum remedium" dan "Restoratif Justice", dan mencakup kebun sawit di Kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK serta mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk Korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 hektar.

Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan “sebelum ditunjuk” kawasan hutan sesuai PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.

Menurut Sadino, ketentuan Pasal 25 ini tidak memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 9 Juli 2012 yang telah merubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni, Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”;

Mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN, Iing Sodikin membenarkan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan.

“Jika kemudian diketahui memang perkebunan itu adalah area hutan, maka bisa dikenakan sanksi administratif,” kata Iing saat bersaksi dalam sidang perkara dugaan korupsi perizinan lahan kelapa sawit PT Duta Palma Grup di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Iing menjelaskan, banyak masalah kehutanan akibat aturan yang tumpang tindih antara Peraturan Daerah (Perda) dan UU mengenai kawasan hutan, dan hal itu banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah.

Ia mengatakan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan.

“Berdasarkan pengalaman, sanksinya administratif, tertuang di PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan salah satu penyelesaian melalui polisi kehutanan dan penyidik kehutanan, dikasih waktu sampai 2023 untuk penyelesaian sanksi,” ujarnya.

Iing menjelaskan, agar tertib administrasi yang dulunya tanah instansi jarang dicatat, barulah dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan harus disertifikatkan.

“Peraturan UU memiliki daya ikat. Namun jika ada perda yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat, maka secara hierarki, perda yang lebih berlaku, seperti Perda Tata Ruang Wilayah. Pencatatan wajib biar negara tahu berapa kekayaannya. Aset itu harus dikuasai dan dimanfaatkan,” ujarnya.

Kemudian, sejak 2016 harus ada izin usaha perkebunan dan hak atas tanah berdasarkan putusan MK Nomor 138/2015. Sedangkan perkebunan yang sudah berjalan sebelum 2016 bisa diusahakan haknya.

Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Herban Heryadana menyatakan, dalam menentukan kawasan hutan perlu ada kesepakatan Menteri LHK dengan Pemerintah Daerah, termasuk di Riau. Kesepakatan tersebut kemudian diformalkan dalam bentuk peta tata guna hutan dengan Surat Keputusan Menteri.

Herban mengakui, saat disepakati terjadi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dalam peta tersebut ada wilayah areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi.

“Kalau kami pelajari dari peta yang ada, peta TGHK bisa ketahuan fungsinya kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan.  Di TGHK masih berbunyi HPK atau APL. Kalau kawasan hutan itu sebenarnya tidak mengacu ke wilayah-wilayah administrasi. Jadi sebenarnya tinggal kita bagi saja berdasarkan batas-batas administrasi,” jawab Herban

Herban menyebut APL adalah area yang statusnya bukan kawasan hutan. Ia mengamini di Riau ada yang dikonversi dan ada wilayah APL.

Pada 2017, dikeluarkan SK penundaan pemberian izin yakni SK.351/MENLHK/SETJEN/PLA.1/ 7/2017 tanggal 31 Juli 2017 tentang Penetapan Peta indikatif penundaan pemberian izin pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain.

Sedangkan PT Duta Palma sudah beroperasi sebelum SK penundaan pemberian izin tersebut keluar. Sehingga diminta menyelesaikan persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi

Herban menjelaskan, bekas kawasan hutan itu merupakan kewenangan Kementerian LHK. Dalam pemetaan kawasan hutan, hasil batas kawasan hutan tadi dianalisis parsial digabungkan tahapannya.

“Penataan batas kawasan hutan itu dilakukan oleh panitia tata batas, anggotanya dari UPT kami kemudian dari ATR/BPN, kemudian dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,” katanya.

Penetapan di Provinsi Riau itu, kata Herban, sebenarnya sudah ada, penetapan kawasan hutan itu jangan dipandang keseluruhan satu wilayah kawasan tadi, yakni satu provinsi itu masih dalam proses penyelesaian.

“Tapi ini bentuknya adalah bagian, jadi satu kelompok hutan yang sudah dilakukan penataan batas ketemu gelang, dari titik awal kemudian kembali nempel itu terhubung, itu yang bisa ditetapkan dengan SK Menteri. Penetapan kawasan hutan kalau Riau tidak ada, saya bisa luruskan Riau sudah ada penetapan kawasan hutan, memang belum semua,” pungkasnya.(lin)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar