Regulasi

Omnibus Law dan Perbaikan Tata Kelola Sawit

PEKANBARU - Sejumlah penolakan terus disuarakan berbagai pihak terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang telah sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Rapat Paripurna pada Senin (5/10). 

Banyak pihak menilai, Omnibus Law hanya berpihak pada investor, bukan pada kepentingan rakyat. Bukan hanya itu, Omnibus Law juga dinilai berdampak besar sektor industri perkebunan kelapa sawit. 

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware mengungkapkan, terkait industri sawit, semua sepakat bahwa perlu adanya perbaikan tata kelola. Disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja justru membuat proses perbaikan tata kelola sawit itu menjadi runyam.

Terlebih, capaian Inpres No. 18 Tahun 2018 atau popular disebut Inpres Moratorium Sawit sebagai salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi langkah awal perbaikan industri kelapa sawit justru tidak begitu menggembirakan.

Karena hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres tersebut. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mencatat bahwa terdapat3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan.

"Sementara kebijakan lain seperti PP No. 60 tahun 2012, PP No. 104 tahun 2015, dan Perpres No. 88 tahun 2017, yang menjadi senjata untuk menyelesaikan persolan sawit dalam kawasan hutan, namun sayangnya tidak ada hasil signifikan,” kata Inda dalam keterangan tertulis belum lama ini.

Lebih lanjut, tutur Inda, terbitnya UU Cipta Kerja yang menawarkan model penyelesaian 'berbau' pemutihan, serta berpotensi aturan perizinan diabaikan, tidak transparan serta berujung pada kerugian publik dan keuntungan segelintir kelompok saja, serta dugaan korupsi seperti diabaikan. 

"Apakah hal ini ada kaitannya dengan tahun politik 2024, waktu akan menjawab," tandasnya. *


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar