Ekonomi

Apkasindo Desak Pemerintah Tuntaskan Kendala Petani Pasca Diwajibkan ISPO

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia telah diundangkan pada 16 Maret 2020.

Dalam aturan itu disebutkan, 5 tahun sejak Perpres diundangkan, pekebun wajib mengikuti sertifikasi ISPO.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan, dengan diwajibkannya pekebun melakukan sertifikasi ISPO ini, maka pemerintah mulai dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus ikut serta menyelesaikan masalah pekebun yang menjadi kendala dalam mendapatkan sertifikasi ISPO.

Menurutnya, kendala-kendala yang dihadapi petani harus sudah selesai dalam waktu 5 tahun ke depan.

"Memang dengan diwajibkannya pekebun atau petani untuk ISPO, otomatis kementerian terkait selaku pembantu presiden harus dan wajib berjibaku sampai lima tahun ke depan untuk menyelesaikan permasalahan petani. Itu konsekuensinya," ujar Gulat, Senin (23/3/2020).

Menurut Gulat, kemajuan penyelesaian permasalahan tersebut pun harus dievaluasi. Dia berpendapat, bila kementerian terkait tidak mampu menyelesaikan masalah dan mencari solusi, maka mereka harus mempertanggungjawabkannya.

Dia mengatakan, pihaknya juga sepakat untuk membentuk tim terpadu untuk mengawal penyelesaian permasalahan petani dan akan melakukan monitor setiap 6 bulan, untuk melihat sejauh apa penyelesaian masalah oleh kementerian terkait.

Dia juga menjelaskan, kendala utama yang dihadapi petani adalah berkaitan dengan legalitas kebun sawit petani/pekebun yang masih terjebak dalam kawasan hutan dan tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) dan hak pengusahaan hutan (HPH). Dia mengatakan, luas lahan yang terjebak dan tumpang tindih tersebut bisa mencapai 76 persen.

Gulat berpendapat, tata urutan penyelesaian persoalan dan hambatan menuju sawit berkelanjutan sudah dimuat dalam Inpres 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit juga diperkuat dengan Inpres nomor 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Sehingga menurutnya, kementerian yang bersangkutan tinggal bekerja sama agar kebun petani bisa mendapatkan sertifikasi ISPO.

"Jika Kementerian dan Dirjen terkait gagal memaduserasikan untuk menyelesaikan permasalahan Petani terutama legalitas lahan Petani sawit dan tumpang tindih dengan HGU/HPH, maka Perpres ISPO akan menjadi Bumerang bagi Petani Sawit Indonesia," tambahnya.

Sejauh ini, dari 621 sertifikat ISPO yang diterbitkan, baru 14 sertifikat yang diterima oleh koperasi pekebun plasma dan swadaya. Luas lahannya sebesar 12.270 hektare, atau 0,21 persen dari luas kebun rakyat 5,8 juta ha. Sertifikat tersebut pun diterima oleh BUMDes dan 6 Koperasi Swadaya.

Sementara, ada 557 sertifikat yang sudah diterima perusahaan swasta dan luas areal 5,25 juta ha, berikutnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sebanyak 50 sertifikat dengan luas areal 286.590 ha.

"Ini mencengangkan sekali bahwa sertifikasi ISPO dikalangan korporasi baik swasta dan BUMN, sangat sukses namun tidak demikian untuk pekebun yang baru 0,21 persen. Dan dari 5,8 juta hektar lahan sawit yang dikelola petani tersebut tidak satupun petani perorangan yang sudah memiliki sertifikat ISPO. Ini menjadi parameter yang sangat terukur bahwa ada kendala di kalangan pekebun," kata Gulat.

Dia menambahkan, penyelesaian permasalahan petani menjadi penting supaya tidak menimbulkan dampak sistemik kepada petani sawit Indonesia. Menurut dia, bila hasil panen dari 5,7 juta ha petani yang belum disertifikasi ISPO tidak dibeli oleh pabrik kelapa sawit (PKS), maka hasil produksi petani yang dalam setahun bisa mencapai puluhan juta ton tandan buah segar (TBS) bisa terbuang sia-sia.

Lebih lanjut, dia juga mengatakan, pendanaan untuk mengurus sertifikasi ISPO juga menjadi kendala. Tetapi, hal tersebut bukan kendala utama. Dia mengatakan, bila permasalahan yang dihadapi petani bisa terselesaikan, maka petani pun akan berupaya untuk mencari dana untuk sertifikasi baik dengan bermitra dengan PKS atau bekerja sama dengan perbankan.

Dalam Perpres 44/2020 tersebut disebutkan bahwa pendanaan sertifikasi ISPO yang diajukan pekebun pun dapat bersumber dari APBN, APBD hingga sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan tersebut disalurkan melalui kelompok pekebun, gabungan kelompok pekebun atau koperasi dan dapat diberikan selama masa sertifikasi ISPO awal.

Meski begitu, Gulat berpendapat penyediaan dana melalui Dana APBN atau APBD tidak akan membantu banyak terhadap pekebun untuk mengikuti sertifikasi ISPO karena masalah utama tak terletak di dana.

"Apalagi dengan dana APBD, kami pekebun tidak begitu yakin karena sama-sama diketahui bahwa Daerah-Daerah saat ini sangat ketat dalam penggunaan dana APBD-nya," tutur Gulat. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar