Ekonomi

Organda Menilai B30 Dipaksakan Gara-gara 'Rengekan' Pengusaha CPO

B30. (Int)

JAKARTA - Organda menyatakan kurang setuju dengan penerapan mandatori B30 dan menilai program tersebut terkesan dipaksakan gara-gara mengikuti 'rengekan' pengusaha sawit atau crude palm oil (CPO).

"Untuk kasus B30, Organda kurang setuju dengan langkah yang diambil pemerintah, seakan kebijakan tersebut dipaksakan, saat CPO dunia turun, kita mengalami over supply CPO, akhirnya pengusaha CPO 'merengek' kepada pemerintah agar CPO lokal dipakai sebagai bahan bakar B20, B30 bahkan nantinya B50," ujar Ketua Bidang Angkutan Barang DPP Organda, Ivan Kamadjaja.

Dia menegaskan bahwa sebenarnya secara prinsip Organda selalu mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama kebijakan tersebut memberikan manfaat bagi semua pihak.

Namun, sayangnya, kenyataan di lapangan sedikit berbeda dimana mandatori B30 berdampak pada penyesuaian yang dilakukan terutama dari sisi teknis.

Setidaknya Ivan mencatat terdapat 3 dampak utama secara teknis terhadap kinerja mesin dari penerapan B30 tersebut. Masalah pertama yakni muncul dari penyaring solar yang menurun masa pakainya.

Klaim pabrikan mencatat filter solar diganti tiap 30.000 Km, tetapi karena penggunaan B30 rata-rata pengusana truk dan bus harus mengganti filter solar lebih cepat setiap 15.000 Km sampai 20.000 Km.

"Solar B30 akan cenderung mengental di dataran tinggi bersuhu dingin, seperti gel yang membuat blocking pada filter bahan bakar. Semakin banyak campuran CPO, semakin banyak fame endapan berbentuk gel, karena molekul minyak nabati tidak akan bercampur sempurna dengan minyak fosil," jelasnya.

Kedua, masalah muncul dari injektor. Pengalaman salah satu anggota Organda, mengganti injektor armadanya cukup menguras kantong, sebab harga per unit mencapai belasan juta rupiah.

"Kalau ganti injektor solar paling berasa, harganya mencapai Rp16 juta, kami ada armada puluhan hingga ratusan unit. Makanya kami perlu jaminan garansi kalau injektor aman sampai berapa tahun," paparnya.

Ketiga, Ivan mengatakan perlunya jaminan dari pemerintah apakah bisa menjamin kualitas B30 layak pakai dimana dari sisi kualitasnya konsisten sampai end user. Pasalnya, B30 sangat mudah disalahgunakan dengan perilaku oknum yang melakukan 'pengoplosan', karena campuran biodiesel tersebut mudah dioplos dengan air.

"Kandungan air dan sulfur berlebih dalam bahan bakar B30 berbahaya bagi kondisi mesin. Selain akan menimbulkan korosi pada part-part logam, adanya kandungan air juga bisa membuat proses pembakaran di ruang mesin tidak maksimal," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM menerapkan mandatori B30 per Januari 2020, setelah pada 2019 menerapkan mandatori B20 dalam campuran bahan bakar solar. B30 yang dimaksud yakni pencampuran 70 persen solar murni dengan minyak FAME yang dihasilkan dari kelapa sawit sebesar 30 persen.

Campuran ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan atas impor BBM jenis solar dan meningkatkan serapan sawit di dalam negeri mengingat pasar internasional minyak kelapa sawit tengah bergejolak. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar