Saham Perusahaan CPO Masih Merah

Katalis Positif Baru Hadir Tahun Depan

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Sepanjang tahun ini hingga perdagangan Jumat (11/10/2019), indeks sektor saham agrikultur berada di zona merah, yakni turun 13,67 persen ke level 1.350,60. Hal ini sejalan dengan saham-saham produsen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang juga masih menurun.

Ambil contoh saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang telah turun 9,30 persen year to date (ytd) menjadi Rp10.725 per saham, lalu PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) yang turun 28,26 persen ytd menjadi Rp330 per saham, serta PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) yang turun 28,80 persen menjadi Rp890 per saham.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, saham-saham CPO masih akan tertekan karena harga CPO dunia belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Pasalnya, pergerakan saham-saham CPO sangat dipengaruhi  harga CPO internasional. 

"Kan harga CPO di dunia masih dalam tren yang agak turun sehingga agak sulit untuk saham-saham CPO bergerak naik," ucap Hans.

Maklum saja, kebijakan dari negara-negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia belum mendukung kenaikan harga CPO ini. Sebut saja India yang masih mengenakan tarif bea masuk lebih tinggi dibanding Malaysia untuk produk turunan minyak sawit asal Indonesia. Hal tersebut turut membuat daya saing lemah dan menurunkan ekspor Indonesia ke India.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendarayana juga memprediksi, hingga akhir tahun, saham-saham sektor CPO masih akan tertekan. Pasalnya, sentimen dari luar negeri masih begitu kuat untuk menekan harga CPO. 

Sebut saja langkah Uni Eropa untuk mengurangi permintaan CPO dari Indonesia dengan memberlakukan kebijakan yang menghambat ekspor sawit Indonesia ke kawasan tersebut.

Faktor lainnya adalah adanya spekulasi investor atas kemungkinan tercapainya kesepakatan perang dagang antara Amerika Serikat (AS dan China. Padahal, sebelumnya, perang dagang ini menjadi kesempatan Indonesia untuk lebih banyak mengekspor CPO ke negeri Tirai Bambu tersebut, sebab CPO menjadi substitusi kedelai yang diimpor China dari AS.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) per 2018, China menjadi pasar ekspor CPO terbesar ketiga dengan jumlah mencapai 4,4 juta ton sepanjang tahun lalu. Berada di bawah ekspor CPO ke Eropa yang sebesar 4,8 juta ton dan India 6,7 juta ton.

Menurut Wawan, sentimen positif untuk saham-saham CPO baru akan hadir tahun depan, yakni penerapan program campuran minyak nabati 30 persen ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar alias B30 mulai Januari 2020.

Program ini diharapkan dapat menyerap kelebihan pasokan CPO sehingga akan mengerek harganya. "Harus tunggu implementasi biodiesel. Akan tetapi, kalau implementasinya lambat dan penyerapannya tidak sesuai harapan, investor harus menunggu hingga kebutuhan CPO kembali meningkat," kata dia.

Oleh karena itu, Wawan menyarankan investor untuk tidak menanam saham di saham-saham ini jika ingin mendapatkan keuntungan dalam jangka waktu pendek ataupun menengah.

Sebaliknya, jika untuk investasi jangka panjang, ia menyarankan investor untuk membeli saham-saham CPO karena valuasinya sudah murah akibat penurunan yang cukup dalam.

Sementara itu, Hans menyarankan investor yang belum memiliki saham-saham ini untuk avoid saham CPO. "Investor sebaiknya menghindari dulu karena memang agak sulit bergerak naik di tengah perlambatan ekonomi global," ucap dia. 

Sementara yang sudah memiliki saham-saham ini, ia menyarankan untuk wait and see sambil menunggu implementasi dan dampak dari program-program pemerintah yang dapat menjadi katalis positif harga CPO. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar