Serat Suluk Gatolotjo (9) : Persenggamaan Bukan Untuk Pembebasan Birahi

Senin, 10 September 2018 | 20:54:30 WIB

Paham ini tak dipungkiri berasal dari kepercayaan purba, animisme dan dinamisme. Kendati dalam perkembangan berikutnya terjadi akulturasi ke dalam paham Hindu dengan ‘agama Syiwa’nya, juga Buddha dengan ‘ajaran Tantra Bhairawa’ yang dianggap menyimpang. Namun demikian, setidaknya ini memberi penegasan, bahwa keyakinan macam itu ternyata tetap lestari.

Dalam kepercayaan Jawa Hindu dikenal adanya Nava Durga, yaitu sembilan dewi yang menyertai Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi. Ini gambaran jagat raya dengan delapan penjuru angin plus porosnya, selain simbol kekuatan semesta.

Dalam melukiskan ‘kekuatan Siwa’, dewa yang dianggap paling hebat itu, dalam perwujudan yang berbeda-beda sosok sang dewa dilukiskan sedang makan sambil bersenggama. Dia menyenggamai sembilan dewi yang selalu bersamanya.

Dalam keyakinan ini, persetubuhan itu tidak dimaknai sebagai pelampiasan nafsu birahi. Ini dipercayai sebagai ‘jalan’ menuju mahasukha. Sebuah area kebahagiaan agung, puncak maha tinggi dari hakekat kebenaran para dewata di Jonggring Saloko.

Sedang bagi kodrat manusia, ‘pelepasan nafsu’ itu untuk membuang anasir negatif dalam tubuh agar mampu ‘menguasai’ ilmu para dewa.

Secara esensial Nava Durga hampir mirip dengan tampilan Bathara Kresna dalam pewayangan. Penjelmaan Bathara Wisnu itu setiap geraknya selalu ditemani para gopi.

Dia adalah sekumpulan gadis cantik yang melayani segala kebutuhan pemilik Panah Cakra itu. Dari kebutuhan yang bersifat kebendaan hingga kebutuhan biologis.

Di Jawa, paham seperti ini dipraktekkan Kertanagara, raja Singosari terakhir (1268-1292). Dalam Pararaton disebut, sang raja untuk menuju ‘mokswa’ melakukan ritus mengumbar nafsunya.

Meminum minuman keras sampai kelewat mabuk, melakukan hubungan seks hingga tak bergairah lagi, dan menyantap makanan sebanyak-banyaknya sampai kehilangan selera dan tak punya keinginan memakan penganan apa saja.

Sedang Raja Brawijaya IV dari Majapahit melakukan penyucian diri di Candi Sukuh, area yang terkesan ‘jorok’ itu. Sang raja mensucikan diri, bersamadi, topobroto, mendekatkan diri dengan ‘kedewataan’ di antara patung dan relief porno itu. Ini dilakukan sang raja sampai akhir hayat.

Memang banyak yang berkeyakinan raja ini ‘berpindah’ ke alam lain secara mistik di Alang-alang Kumitir lereng Gunung Lawu. Juga ada yang percaya sang raja ‘mokswa’ di Kawasan Trowulan. Tetapi catatan sejarah menyebut sang raja mangkat normal, jasadnya dikremasi dan abunya ditanam di Candi Brahu, Mojokerto. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)

Terkini