Serat Suluk Gatolotjo (4) : Perkawinan Politik Putri Pandansari dan Pangeran Pekik Muda

Rabu, 05 September 2018 | 19:43:45 WIB

Sindiran yang tertuang dalam ‘Kitab Al Asror’ itu ternyata tidak membuat Sultan Agung sadar, tapi malah sebaliknya. Raja Mataram itu menyimpan dendam kesumat.

Terbukti, setelah sekutu kerajaan Surabaya di Pontianak ditraklukkan dan diteruskan penaklukan Surabaya, Pangeran Pekik ‘muda’, putera Pangeran Pekik ‘tua’, raja Surabaya yang meninggal, dipanggil ke Mataram.

Di Mataram, putera Raja Surabaya itu tidak dipidana. Sultan Agung ‘berbaik hati’. Pangeran Pekik ‘muda’ itu disambut kemeriahan, dikawinkan dengan adiknya yang bernama Ratu Pandansari, dan diangkat sebagai Raja Surabaya menggantikan ayahnya. Ini perkawinan politik gaya Sultan Agung.

Kedok ‘kebaikan’ hati sang raja itu terkuak ketika Pangeran Pekik ‘muda’ telah memasuki hari keempatpuluh pernikahannya. Ratu Pandansari disuruh menghadap Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya, karena Giri tak kunjung mau memberi upeti dan ‘berserah diri’ ke Mataram. Sultan Agung ingin Giri diserang dan ditaklukkan. Dan yang melakukan itu adalah Pangeran Pekik ‘muda’, suami Ratu Pandansari.

Malamnya Ratu Pandansari membisiki suaminya, bahwa ‘masih ada satu klilip Mataram’ yang harus disingkirkan. Klilip (benda kecil yang masuk ke dalam mata) itu adalah Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan Giri muda, cucu Sunan Giri Prapen, guru Pangeran Pekik ‘tua’, ayahandanya.

Ketika Pangeran Pekik ‘muda’ kebingungan dengan permintaan itu, Ratu Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara ‘guru-murid’ itu sudah terputus setelah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan Giri muda itu juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris dan pedang.

Akhirnya Pangeran Pekik ‘muda’ berangkat menuju Giri dengan pasukan Mataram yang membawa persenjataan lengkap. Sunan Giri muda bersiap diri setelah mendengar Mataram bakal menyerangnya. Adipati Sepanjang, orang kepercayaan Pangeran Pekik ‘muda’ menyebar tilik sandi dan memberi laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.

Prajurit itu dilatih Indrasena. Dia murid Giri yang berasal dari China, pandai menggunakan senjata dan ilmu kanoragan lainnya. Dengan gemblengan yang dilakukan Indrasena terhadap prajurit Giri, maka Sunan Giri muda yakin pasukannya bisa mengatasi serbuan Mataram yang dibantu prajurit Surabaya.

Dan itu benar. Ketika pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Pekik ‘muda’ menyerang, pasukan ini kocar-kacir. Pasukan Giri mampu memukul mundur prajurit yang berasal dari dua kerajaan Mataram dan Kerajaan Surabaya.

Saat itulah Ratu Pandansari tampil. Putri Mataram ini tahu letak kekalahan pasukan suaminya. Adik Sultan Agung itu mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang itu. Dia tidak memarahi para prajurit, tetapi justru memberinya hadiah berupa busana indah serta uang. Sehabis itu Ratu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah sepulang dari medan laga membawa kemenangan.

Akhirnya ‘politik uang’ itu membawa kejayaan. Kedaton Giri berhasil direbut. Sunan Giri muda ditangkap. Harta benda Giri diambil sebagai pampasan perang. Dan ini sebuah ironi. Ironi sejarah yang dalam Babad Tanah Jawi ditulis secara liris dan mistis.

Sekarang pertanyaannya, kenapa syariat Islam ‘tidak diwajibkan’, tetapi hanya puasa dan mencegah tidur saja yang ditekankan untuk dijalankan? Itu tak lepas dari ‘kepercayaan lama’ manusia Jawa yang meyakini ‘ndadar awak’ dan ‘ngebor sukma’ agar terkabulkan apa yang diinginkan itu harus melalui pakem ‘ngelmu kuwi soko laku’. Menimba ilmu dari ‘menjalankan lelaku’.

Menjalankan ‘lelaku’ yang dimaksud aplikasinya sebagai ‘kewajiban’ cegah lek (mengurangi tidur) dan cegah dahar (puasa). Ini sebuah kebiasaan yang bersumber dari paham animis, yang sudah berabad-abad lampau dijalankan ‘manusia Jawa’. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)

Terkini