Serat Suluk Gatolotjo (2) : Manusia Jawa Itu Nriman Ning Nora Nrimo

Senin, 03 September 2018 | 21:14:03 WIB

Manusia Jawa itu memang manusia yang ‘nriman ning ora nrimo’. Gampang menerima apa saja, termasuk paham yang datang dari berbagai agama, tetapi ‘penerimaan’ itu tidak otomatis dijalankan sesuai aslinya.

Paham itu butuh waktu panjang untuk diterima. Butuh proses surealitas untuk bisa menjadi bagian dari batin manusia Jawa.

Setiap paham yang datang, asal bilang ‘kulo nuwun’ akan ‘dipersilahkan masuk’. Setelah ‘bertamu’ terjadi proses seleksi ketat melalui ‘saringan roso’ (batin).

‘Cawan’ penyaring itu berasal dari keyakinan lama. Tatkala paham itu mempunyai kesamaan dengan keyakinan purba, maka kesamaan itulah embrio yang berhasil ‘nyantol’ ke dalam batin orang Jawa.

‘Kesamaan’ memang ‘pintu masuk’. ‘Kesamaan’ itu yang menggugah batin manusia Jawa untuk melakukan ‘kreatifitas tinggi’, menggodok tiap paham yang datang sebelum dipeluknya.

Untuk itu jika kelak manusia Jawa itu mengamalkan sebuah ajaran, maka hakekatnya ajaran itu bukanlah ajaran yang datang dan dipersilakan masuk tadi. Ajaran itu telah berganti ‘baju’. Baju itu hasil ‘permakan’, adonan yang berasal dari berbagai paham. Itulah ‘paham baru’, sinkretisme, yang acap juga disebut kejawen.

Pandangan seperti itu secara eksplisit tertuang dalam Kitab Wedhatama karangan Mangkunegaran IV (1809–1881) . Agama Islam yang merambah kerajaan pedalaman (Mataram) memberi ‘pemahaman unik’ terhadap keyakinan sang raja dalam menerima ‘agama baru’ itu.

Dalam satu pupuhnya dikatakan : “Kowe kuwi wong Jowo le, ojo ndadak ngikuti lakune nabi. Biso cegah lek lan cegah dhahar wae wis cukup.” Artinya, kamu itu orang Jawa, jangan berharap banyak bisa mengikuti sunnah Nabi (Muhammad). Bisa ‘mengurangi tidur’ dan puasa saja sudah cukup.

Juga dalam Serat Centhini yang digagas Pakubuwana (1788-1820). Serat kolaborasi ‘berbagai ahli’ itu juga terbentang campuran heterogenitas agama dan kepercayaan.

Kendati sosok tokoh-tokohnya, Amongrogo, Ni Tambang Raras serta Centhini dipersonifikasikan sebagai ‘Islam deles’, pemeluk Islam taat, figur yang sangat Islami, toh sikap dan perilakunya tetap ‘mblakrak’ (mengembara) kemana-mana. Jauh menyimpang dari kaidah Islam !

Pandangan dua ‘raja Mataram’ itu sudah mewakili ‘dunia batin’ orang Jawa. Namun jika mau surut ke belakang, ‘sinkretisasi Islam’ itu sebenarnya sudah mengental sejak Sultan Agung (1613-1646). Raja ketiga Mataram sebelum terpecah oleh Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) itu dikenal sangat cerdik.

Kecerdikannya sebagai negarawan, Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai sarana berpolitik. Islam dipakainya untuk menerapkan politik devide et impera. Politik pecah-belah sebelum menginvasi kerajaan Islam dari dalam bagi perluasan teritorial Mataram. Djoko Su’ud Sukahar

Terkini