Regulasi

Gapki:Tuduhan Deforestasi Uni Eropa tak Terbukti

ilustrasi perkebunan kelapa sawit indonesia

JAKARTA- Bertempat di Kemenko Perekonomian, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) melaporkan studi Kelapa Sawit dan Keanekaragaman Hayati. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono merespons positif studi itu.

Studi IUCN yang dibiayai Bank Dunia ini, menurut dia, memberikan sentimen positif bagi industri sawit karena menyimpulkan bahwa sawit tidak serta-merta selalu menjadi penyebab utama deforestasi. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit tidak selalu menjadi penyebab utama punahnya keanekaragaman hayati.

"Selama ini, pasar global selalu menuduh minyak sawit terkait dengan deforestasi. Ini penting untuk menyeimbangkan kebijakan RED II Eropa menjelang diberlakukan. Aturan itu kemungkinan besar mendiskriminasi sawit karena sawit dianggap beresiko tinggi terhadap alih fungsi lahan dan deforestasi, yang secara ilmiah tidak terbukti. Ini hanya political excuses," jelas Joko.

Joko menjelaskan, Uni Eropa telah berusaha membatasi penggunaan minyak sawit dan produk turunannya sejak lama, tepatnya sejak kebijakan RED I diterapkan. Saat itu, minyak sawit dikatakan tidak memenuhi aturan gas rumah kaca, sementara minyak nabati lain memenuhi syarat.

"Padahal faktanya studi mengatakan bahwa sawit kita juga bisa memenuhi syarat dan bisa masuk serta diterima di pasar Eropa. Lalu mereka berlakukan tarif dumping sampai akhirnya kita pun menang di WTO. Sekarang mereka khawatir lagi dan akan memberlakukan kebijakan RED II dengan aturan yang lebih berat lagi," tambahnya.

Joko meyakini, kebijakan ini akan sangat memberatkan ekspor produk sawit ke Eropa karena kemungkinan besar akan memberikan semacam hambatan perdagangan non-tarif.

"Selama ini kita bisa memenuhi kebutuhan pasar Eropa secara B2B [business to business], tapi kalau regulasi di sana membatasi tentu akan lebih berat buat kita," imbuhnya.

Joko menyebutkan, pasar Eropa mengimpor sekitar 9 juta ton hingga 10 juta ton CPO dan produk turunannya dari total ekspor 30 juta hingga 32 juta ton per tahun. Kendati demikian, Indonesia sudah memiliki pasar alternatif yang bisa menyerap jumlah tersebut.

"Kita punya pilihan pasar ekspor ke depannya," katanya.(rd/bc)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar