Humaniora

Tragedi Setan (62) : Hati Orang Beriman Itu Membakar Iblis

"Engkau yang disana! Sehingga Dia telah membuatkan untukku alasan terjadinya kesalahan, dan dalih untuk mengalihkan perhatian kepada argumen tentang perintah dan larangan.

Sebaliknya, sejujurnya, tidak ada alasan untuk perintah-Nya. Tidak ada kelayakan apa pun terhadap keputusan-Nya. Dan tidak ada pula alasan apa pun untuk pengusiran musuh-musuh-Nya, karena Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.

Dia dapat mencukupi dirinya sendiri dan senantiasa disembah. Tidak ada perbuatan-perbuatan baik dari orang yang bijak yang akan memberikan keuntungan bagi-Nya. Dan tidak ada pula perbuatan-perbuatan buruk dari para pendosa yang membahayakan bagi-Nya. Keputusan-Nya telah dilaksanakan, ketetapan-Nya telah dilakukan, dan pena-Nya telah mengering."

"Karena Dia adalah wujud yang mutlak dalam kedaulatan-Nya, tidak ada doktrin-Nya yang telah mengalami perubahan dihadapan-Nya, dan tidak ada pula keputusan-Nya yang menentang terhadap-Nya. Perkataan-Nya adalah kebenaran. Janji-Nya adalah tulus, janji keselamatan atau memberikan ancaman kemusnahan.

Kepunyaan-Nya keinginan untuk memberikan ancaman, dan kepunyaan-Nya kehendak untuk memberikan janji dan ancaman. Kepunyaan-Nya kekuasaan-Nya untuk menghukum tanpa alasan dan kekuasaan untuk menjadi murka terhadap apa yang telah dicapai.

Dia, dalam setiap hal, adalah Adil. Kepunyaan-Nya makhluk-makhluk yang diciptakan dan perintah yang dibuat; dalam genggaman-Nya. Segala keberuntungan dan bahaya.

Kepada Dia tidak patut dipertanyakan tentang apa yang Dia lakukan. Hanya untuk makhluklah patut ditanyakan tentang apa yang telah mereka lakukan. Segala sesuatu akan mengalami kehancuran di hadapan-Nya. Kepunyaan-Nya segala keputusan, dan kepunyaan-Nya engkau akan kembali. Amin."

Tragedi yang ada dalam karakter Iblis dengan sendirinya berkembang lebih lanjut dalam setiap konfrontasi yang baru. Kekuatan emosi dari dialog-dialog dan monolog-monolognya dalam Mathnawi dan Taflis Iblis dapat disamakan, sedangkan pertemuan-pertemuannya yang tidak begitu penting telah berperan untuk memperkuat kegagalan dan kesia-siaan dari kedudukannya.

Salah satu jenis cerita Sufi tertentu telah sangat berperan dalam tema-tema kegagalan dan ketidakmampuan menghadapi kekuatan spiritual yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih.

Iblis tidak lagi merupakan perekayasa nafs yang ulung, orang yang berpura-pura yang melakukan hal-hal baik untuk mencapai tujuannya sendiri. Dalam literatur tentang Iblis ini, dia mengalami halangan, jika tidak mengalami kekalahan, dari awalnya.

Dasar-dasar Al-Qur'an untuk keyakinan bahwa kebaikan dari orang-orang yang terpilih telah menjadikan Iblis tidak berbahaya ditemukan dalam seruan-seruan Allah untuk Iblis, di mana dia meniadakan kekuasaan dan kekuatannya terhadap orang-orang yang tetap beriman dan beramal saleh.

Para penulis Sufi mengambil tema-tema Al-Qur'an ini dan mengembangkannya untuk mendidik serta memberikan dorongan kepada para Sufi dan orang-orang mengambil jalan keimanan seperti mereka.

Yahya, putra Zakaria, berkata,"Aku bertanya kepada Iblis-semoga Allah mengutuknya!-'Wahai musuh Allah, mengapa engkau menyerah kalah kepada orang-orang yang beriman?'

Dia berkata,'Wahai Yahya, seseorang seperti engkau bertanya itu? Sesungguhnya hati dari orang-orang yang beriman seperti cermin dengan dua sisi yang berkilauan dengan cahaya perenungan dan di dalamnya cahaya-cahaya zikir bergetaran. Hati-hati mereka seperti lautan yang penuh api dan cahaya. Setiap saat aku mencoba mendekatinya, cahaya dari apinya telah membutakan aku dan api dari cahayanya telah membakar diriku..." (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar