Humaniora

Tanah Sejuta Tabu Itu Tempat Tinggal Suku Baduy

Tanah Sejuta Tabu. Begitu sebutan untuk masyarakat Baduy. Malah terdapat pikukuh (ketentuan mutlak) yang mengajarkan: “panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung”. Itu tampak dalam kehidupan sehari-hari.

Perkara hidup bagi mereka adalah soal mempertahankan pikukuh. Ini yang mereka warisi secara turun-temurun. Banyak hal yang harus mereka patuhi dalam tatanan adat Baduy.

Tapi siapakah orang Baduy itu? Tidak ada kepastian. Tidak adanya data tertulis atau prasasti menyulitkan para peneliti untuk melacak masa silam masyarakat Baduy. Tidak mengherankan bila beberapa peneliti Baduy mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, berdasarkan spekulasi dan kesimpulan masing-masing.

Menurut G.A. Kruseman, yang menulis Eenigedagen onder de Badoewiss di surat kabar Java Bode, orang Baduy adalah penduduk asli Banten. Sedangkan A. Penings berpendapat, mereka adalah kaum pelarian dari Kerajaan Banten yang terdesak oleh orang Islam. Ada juga yang menganggap masyarakat Baduy sebagai pelarian dari Kerajaan Pajajaran.

Istilah Baduy menjadi populer karena begitu seringnya kata itu dipakai untuk menamai penghuni tanah Kanekes itu. Pada mulanya sebutan Baduy sangat tidak disukai oleh penghuni yang sudah ratusan tahun secara turun-temurun menetap di kawasan itu.

Mereka lebih senang disebut Urang Kanekes atau Urang Rawayan. Rawayan sebenarnya adalah jembatan bambu yang menghubungkan antara satu kampung dan kampung lainnya. Sedangkan mereka menyebut masyarakat di luar Kanekes sebagai "orang Eslam (Islam)".

Masyarakat Baduy sebenarnya tetap berakar pada etnis Sunda. Hanya perbedaan keyakinan, dialek bahasa dan adanya perbedaan berbagai nilai mendasar yang membuat mereka tampak beda. Mereka bukan masyarakat terasing. Yang lebih tepat, mereka adalah sebuah komunitas yang mengasingkan diri melalui perjalanan panjang dengan niat khusus.

Mereka menghuni suatu lembah yang dikelilingi bukit-bukit Gunung Kendeng dengan ketinggian 900-1.200 meter dari permukaan laut. Kanekes mencakup areal seluas 5.102 Ha. Jumlah penduduknya sekitar 6.000 jiwa. Mereka hidup tersebar di beberapa kampung Tangtu (Dalam) dan Panamping (Luar).

Makin Terbuka

Memasuki daerah Kanekes akan segera disambut dengan panorama kehijauan hutan yang belum terusik. Areal yang menjadi cagar di bagian selatan Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Kehijauan itu menyebabkan tanah Baduy selalu diselimuti kabut dingin, terutama pada pagi dan malam hari, dengan suhu udara rata-rata 20 derajat Celcius.

Dibukanya jalan raya Leuwi Damar ke Cibolger sejak sekitar 25 tahun lalu menjadikan masyarakat Baduy tidak lagi terisolasi. Mereka makin terbuka dengan dunia luar.

Perjalanan menuju Kanekes tidak sesulit pada masa silam. Kini, pengunjung hanya membutuhkan waktu 2-3 jam untuk menempuh jarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung ke Cibolger dengan kendaraan umum dalam kondisi jalan kering. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki beberapa kilometer, menelusuri jalan setapak di antara ladang padi yang berbukit-bukit.

Eloknya panorama alam dan sejuknya udara Kanekes serta keingintahuan akan masyarakat Baduy membuat perjalanan tidak begitu melelahkan. Sekalipun bagi orang yang tidak terbiasa berjalan kaki.

Secara tradisional, masyarakat Baduy dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah kelompok Tangtu atau Kajeroan, yang sering disebut Baduy Dalam. Kedua adalah masyarakat Panamping atau Dangka, yang dikenal sebagai Baduy Luar. Yang membedakan mereka adalah ketaatan pada pikukuh adat.

Orang Baduy Tangtu lebih taat dalam menjalankan semua pikukuh, rukun adat, serta agama Sunda Wiwitan yang mereka peluk. Sedangkan orang Baduy Luar adalah masyarakat yang karena berbagai alasan telah banyak mengingkari bahkan melanggar aturan adat. Karena itu, mereka tidak diperbolehkan lagi bermukim di kampung Baduy Dalam.

Ada tanda-tanda tertentu yang harus dibuat bila seorang Baduy Luar masuk ke kampung Baduy Dalam. Tanda itu berupa rumput alang-alang (ilalang) yang diikat di jalan setapak, sebagai bukti mereka telah menginjak tanah suci leluhurnya.

Secara damai pengaruh kebudayaan pra-Hindu, Hindu, Buddha dan Islam telah merasuk mewarnai kehidupan leluhur orang Baduy selama mereka mengembara mencari tanah air baru. Perikehidupan mereka seolah-olah diilhami kebudayaan pra-Hindu, membekas pada kehidupan budaya dan pelaksanaan ritual dalam memuliakan para leluhumya.

Pengaruh Buddhisme nampak dalam napas kehidupan sehari-hari. Orang Baduy berusaha untuk menjauhkan diri dari segala kejelekan. Mereka mempunyai wawasan luas tentang arti hidup ini. Segala tindakan mereka berpedoman pada pikukuh yang selain suci dan sakral, juga tabu untuk dilanggar.

Sejak dahulu, masyarakat Baduy mempunyai tradisi dan tatanan adat yang kuat. Terpelihara sejak ratusan tahun hingga sekarang, mitologi menjadi nilai turun-temurun dan berlaku sebagai inti adat-istiadat milik warga.

Mitos ini biasa dituturkan lewat pantun Baduy yang dilantunkan para tetua adat Baduy, untuk menyampaikan pesan-pesan leluhur agar taat kepada pikukuh adat. mok/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar