Humaniora

Tragedi Setan (55) : Mengurai Jabariyah dan Kesesatan

Ansari menggunakan kenyataan ini untuk mengemukakan beberapa pertanyaan tertentu. "Ya Allah, walaupun Iblis adalah pengajar yang salah bagi Adam, siapakah yang membuat semua ini menjadi bagian darinya?"

Ansari menjelaskan, Allahlah yang memilih Adam untuk menjadi orang yang terpilih, dan telah mengubah Iblis menjadi pendosa yang membangkang.

Tanpa menghilangkan rasa hormat, seperti Adam, kita akan menganggap bahwa semua kesalahan berasal dari kita sendiri. "Tetapi, sesungguhnya Engkaulah yang telah menciptakan keburukan."

Perkembangan yang logis dari argumentasi ini membawa kita pada sebuah kelonggaran tanggungjawab yang diberikan kepada Iblis akan perbuatan-perbuatannya.

Pada saat yang sama, pertanyaan yang lebih meluas yang seharusnya dikemukakan: apakah mitos Iblis menunjukkan atau tidak menunjukkan kemungkinan yang menakutkan, bahwa ada sedikit atau sama sekali tidak ada kehendak bebas yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan makhluk ciptaan?

Dan apakah manusia hanyalah merupakan bagian-bagian yang digerakkan pada sebuah papan catur dalam suatu permainan yang hasilnya telah ditentukan secara cermat?

Salah satu kritik yang lebih keras terhadap posisi seperti ini adalah dari Rumi, yang dalam Mathsnawi-nya telah mencurahkan beberapa muatan penting untuk suatu sangkalan terhadap pendirian agama dan filsafat Jabariyah. Dia menghadapi berbagai argumen yang ditemukan dalam mitos Iblis.

Belajarlah dari Adam, wahai sahabat; ketika dia berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat dosa!"

Dia tidak membuat alasan apa pun, dan tidak pula berdusta. Tidak ada tipu daya yang dia lakukan dan tidak juga dia berpura-pura. Sebaliknya, Iblis banyak mengemukakan alasannya dalam perdebatan.

"Aku dulu biasa dipuji dengan kehormatan. Engkau telah membuat aku penuh prasangka. Warna ini adalah milikMu, Engkaulah pembuat warna. Engkau adalah sumber kejahatanku, kesengsaraanku dan keburukanku!"

Berhati-hatilah! Bacalah ayat: "Ya Tuhan, karena Engkau telah membuat aku tersesat," maka janganlah engkau menjadi seorang pengikut Jabariyah, dan janganlah membuat kebohongan yang tak berharga. Karena berapa lama engkau akan melompat ke dalam pohon keterpaksaan, dan menyisihkan kehendak bebasmu, yang terlibat dalam peperangan dan pertentangan dengan Allah seperti Iblis dan semua keturunannya?

Rumi tidak pernah berhenti menunjukkan betapa bebasnya manusia untuk merasakan ketika kebebasan ini menjadi sebuah masalah pemilihan untuk mengikuti hawa nafsunya. Kemampuan untuk memilih, Rumi menegaskan, tidaklah selalu bersifat operatif.

Kemampuan ini masih tidak kelihatan sampai timbul rangsangan untuk memilih, kemudian terlihat dengan sendirinya dalam semua kemegahannya.

Betapa bodohnya seseorang jika menurunkan derajat dirinya menjadi sebuah batu! Apakah batu-batu itu pernah membuat profesi keimanan, atau membuat marah, atau memberikan pujian dan kehormatan melalui perbuatan-perbuatan yang baik?

Dan sang raja menjawab, "Sebaliknya, apa yang muncul dari dirinya adalah hasil dari kesalahan dan keuntungan dari kerjanya. Jika tidak, bagaimana Adam dapat berkata kepada Allah, 'Wahai Tuhan kami, kami telah mendurhakai diri kami sendiri!'

Dia akan berkata,'Dosa ini berasal dari Takdir, karena ini adalah perbuatan Takdir, apakah yang menjadi keuntungan adalah kewaspadaan kita?'

Seperti Iblis yang telah berkata, 'Engkau telah menyebabkan aku sesat.' Engkau telah memecahkan piala dan Engkau mendepakku.'

Agaknya, baik Takdir ataupun usaha dari hamba adalah benar. Berhati-hatilah! Janganlah menjadi bermata satu seperti Iblis."

Rumi menunjuk pada kenyataan yang dapat dilihat dari kebimbangan manusia antara dua pilihan, sewaktu menunjukkan kemungkinan untuk memilih.

Sebaliknya, dorongan yang menciptakan konflik ini, yang memberikan pilihan jalan yang itu, akan menjadi tak berguna. Yang sebenarnya, pilihan yang terbuka bagi manusia adalah tak terbatas. Seseorang tidak dapat memilih untuk terbang, misalnya.

Meski demikian, dia dapat memilih apakah akan pergi ke Damaskus atau ke Baghdad. Dan yang jauh lebih mengarah pada masalah adalah, bahwa manusia dapat memilih untuk melakukan yang baik atau yang tidak baik.

Kita tidak dapat menyalahkan orang lain, atau Takdir, untuk perbuatan-perbuatan ketidakpatuhan kita sendiri. Tetapi kita seharusnya bertanggung jawab kepada diri sendiri dan menerima hasil dan akibatnya.

Membela keterpaksaan secara tidak langsung menunjukkan bahwa tak ada tanggung jawab. Dan menyatakan tidak ada tanggung jawab secara tak langsung berarti menyatakan bahwa perintah-perintah agama dan moral itu tidak ada. Bagi robot, baik dan buruk hanyalah istilah yang kosong, tak berarti apa-apa. Namun bagi manusia tidak demikian.

Jika dalam pandangan Allah, baik dan buruk adalah sama nilainya dalam ujian, maka Iblis akan memiliki derajat yang sama seperti jibril. (jss/bersambung)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar