Humaniora

Tragedi Setan (51) : Akal Itu Membutakan Manusia

Makhluk di dunia sangat tergantung kepada Bal'am, putra Ba'ur. Dia seakan-akan adalah Yesus pada zamannya. Kata-katanya memberikan kesehatan bagi orang yang sakit. Tapi karena kesombongan dan kesempurnaannya, dia bergulat dengan Musa. Hasilnya, laki-laki berakal itu kalah dengan nista.

Dalam cara yang sama, di dunia ini ada ratusan ribu Iblis dan Bal'am, yang tampak maupun tidak tampak. Allah telah membuat mereka menjadi terkenal, dan memberikan kesaksian terhadap yang lainnya.

Anggota yang ketiga ditambahkan kepada kelompok keturunan Adam, yang kebutaannya terjadi karena perasaan aman yang salah. Dia bangga dengan keamanan surga, tapi terlupa dengan kemungkinan jiwa batinnya dapat terluka, karena keadaan sekelilingnya.

Hatim Al-Asam berkata,"Janganlah terpesona oleh suatu tempat yang aman. Adakah tempat yang lebih aman. Adakah tempat yang lebih aman selain dari surga? Dan di sana Adam mengalami apa yang telah dia alami. Dan janganlah terpesona dengan banyaknya ibadah, karena Iblis, setelah sekian lama dalam ketaatan beribadah, mengalami apa yang dia alami.

Dan janganlah terpesona dengan tingginya ilmu, karena Bal'am sangat berpengetahuan luas tentang nama-nama Allah yang paling mulia, dan lihatlah apa yang dia alami!

Iblis, dalam konteks ini, tidak hanya dipilih karena keyakinannya pada keunggulan atau superioritas yang diberikan karena pengabdiannya yang lama, selama berabad-abad dalam Singgasana Illahiah. Tapi seperti juga Bal'am, dia dikutuk karena kepercayaannya yang membabi-buta terhadap akal.

Sebagaimana yang telah disebutkan, Iblis, melalui penggunaan pikiran analogis (qiyas), sampai pada kesimpulan bahwa dia lebih tinggi dari Adam karena unsur api. Unsur penting yang dari itu dia diciptakan Allah, dan dia merasa lebih tinggi derajatnya dari tanah liat yang membentuk Adam. Proses intelektual yang khusus seperti inilah yag menyebabkan kejatuhan Iblis.

Orang pertama yang pernah melihat analogi-analogi yang tidak begitu penting ini di hadapan cahaya Allah adalah Iblis. Kepercayaan diri intelektual Iblis, yang diwujudkan dalam kepercayaannya terhadap qiyas, seringkali dipahami sebagai suatu bagian yang langsung dari kesombongannya. Namun demikian ada unsur nuansa yang ditambah oleh Rumi, dengan menyisipkan suatu jalan tengah antara kesombongan dan kebutaan intelektual.

Dia menyinggung tentang kecintaan terhadap diri sendiri (narcissism), suatu akibat sampingan dari sebuah kesombongan, yang kemudian menjelaskan bahwa kesombongan akan mengarahkan semua rasa cinta seseorang terhadap diri sendiri, sehingga meniadakan kemungkinan tercapainya rasa cinta kepada Allah.

Oleh karena itu, kebutaan intelektual merupakan konsekuensi logis dari ketidakmampuan Iblis untuk merindukan atau mengakui, apa yang ada di luar dirinya, terutama kasih sayang Allah yang telah terjadi pada saat penciptaan Adam. Dia hanya menerima kulit kosong, tanpa kehidupan atau kasih sayang spiritual. Dia memiliki akal, tetapi tidak memiliki kerinduaan akan keimanan.

Di dalam diri Adam dia hanya melihat sebentuk tanah liat. Sekalipun engkau memiliki ilmu baik, wahai sahabat yang bijak, ilmu tidak akan membukakan kedua matamu untuk menembus apa-apa yang tak terlihat, begitu kata Rumi.

Kekhawatiran bahwa akal dapat diterima sebagai sesuatu yang bulat (determinatif) dalam masalah-masalah spiritual telah berlangsung secara mendalam dalam tradisi mistik Islam. Orang-orang rasionalis pada zaman Islam permulaan, seperti kata Al-Hujwiri, mencoba untuk menyamakan kemajuan spiritual dengan kemajuan dalam perkembangan pikiran, yang menghasilkan suatu kesimpulan yang menggelikan.

Dimana setiap orang yang sangat rasional adalah seorang 'arif, gnostik', tanpa mempertimbangkan perhatiannya dalam pengalaman kepercayaan religiusnya atau penerimaan terhadap pengalamannya itu.

Sewaktu argumen ini gagal dipertahankan, orang-orang rasionalis mengemukakan teori, bahwa ada bukti-bukti yang dapat terlihat dan tak dapat disangkal tentang eksistensi Allah. Dan mereka mempertahankan, bahwa melalui ilmu yang didapat dengan menggunakan bukti-bukti itu, manusia mencapai kontemplasi tentang Allah.

Al-Hujwiri memampangkan kehidupan mitos Iblis untuk pembuktian kesalahan dari pernyataan itu. Katanya, karena Iblis melihat banyak tanda-tanda kemukzizatan, seperti Surga, Neraka, Singgasana Allah, tapi kemampuan untuk memandang kemulian-kemulian itu bukanlah penyebab dari pencapaian ma'rifatnya.

Orang-orang Sunni percaya, pemikiran dan pengamatan yang kuat dari bukti merupakan sebuah sarana terhadap gnosis, tetapi bukan penyebabnya. Satu-satunya penyebab gnosis adalah karunia dan kemurahan dari kehendak Allah. Karena tanpa karunia Allah, akal akan buta. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar