Humaniora

Tragedi Meurah Pupok (4) : Anak Hilang Masih Ada Pusaranya, Jika Hukum Hilang .......

Dengan penuh kewibawaan sang Sultan akhirnya memberikan titah agar segera menyiapkan Pengadilan untuk mengadili Meurah Pupok.

Di luar istana, pagi hari langit cerah sekali, tetapi sore itu gerimis turun yang sebelumnya digelayuti mendung tebal. Alam seakan turut berduka dan mengisyaratkan atas prahara yang timbul. Ya, peristiwa itu bagaikan godam besar sedang menghantam bumi Aceh.

Kegalauan Sultan sangat dirasakan oleh seluruh menteri dan para pembesar istana. Bahkan beberapa pembesar kerajaan yang kesetiaan mereka sudah sangat teruji, dengan sangat hati-hati menghadap. Mereka berharap Sultan Iskandar Muda membatalkan hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepada Meurah Pupok.

Ada beberapa usulan mereka ajukan untuk memberikan pengampunan. Di antaranya mengasingkan Putra Mahkota yang telah melakukan kesalahan itu ke negeri lain atau salah satu negeri wilayah kekuasaan Sultan.

Malah saking sayang kepada Meurah Pupok, salah seorang perwira muda Kavaleri yang sering melatih Meurah Pupok menunggang kuda dari sejak Meurah Pupok kecil, menyampaikan maksudnya untuk mencari pemuda lain yang sebaya dengan Meurah Pupok untuk menjadi pesakitan. Dia menggantikan Putra Mahkota untuk dijadikan sebagai kambing hitam.

Hampir saja Sultan terbawa perasaannya dengan usulan perwira muda itu. Timbul sedikit kebimbangan dan kegalauan dalam hatinya. Tetapi kembali Sultan mampu menguasai perasaannya.

Terakhir sekali menteri Kehakiman Kerajaan sebagai salah satu menteri yang sangat senior bergelar Sri Raja Panglima Wazir memberanikan diri berusaha membujuk Sultan untuk dapat membatalkan atau menunda keputusan eksekusi yang akan dilakukan kepada Meurah Pupok.

Usulan itu ditolak semua. Dengan suara lirih Sultan bertitah, bahwa Kerajaan Aceh Darussalam kokoh dan kuat karena hukumnya ditegakkan dengan penuh berkeadilan.

Selanjutnya Sultan bertitah lagi “Gadoh aneuk meupat jeurat, Gadoh hukom ngon adat pat tamita”. (Hilangnya anak masih ada pusaranya, tetapi kita tidak pernah bisa mencarinya lagi jikalau hukum dan adat itu hilang). (bersambung/Arie Abieta)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar