Humaniora

Rabi'ah Dari Basrah (8) : Kekasih Allah Tidak Akan Merasakan Sakit

Rabi’ah memang manusia yang luar biasa. Ia adalah sufi besar yang sulit dicari bandingannya. Sifat seperti itu, selain terlihat dari kesehariannya, juga tampak dari salah satu anekdot kecil di bawah ini.

Kala itu, wanita suci ini datang pada suatu acara perayaan. Seseorang bertanya padanya, tentang perayaan itu. Jawab Rabi’ah, “aku melihat bagaimana kalian menjalankan Sunnah Nabi dan menghentikan kepercayaan sesat. Namun sayang, kalian telah mempertontonkan kecintaan akan kemewahan dan kekayaan. Kalian membawa penghinaan terhadap umat Islam itu sendiri.” Rabi’ah memang lambang kecintaan total terhadap Allah.

Kesakitan dan penderitaan yang diderita taklah dianggap sebagai sesuatu yang membebani. Ia anggap itu adalah kehendak Allah bagi dirinya. Untuk itu, dengan kepasrahan yang luar biasa, ia berjuang keras bertahan dengan segenap kekuatannya, untuk menahan sakit dan pedih bagi manusia ‘awam’. Saking tingginya tingkat kepasrahan itu, Rabi’ah sendiri tak merasai dirinya sedang menderita.

Banyak sudah kisah yang membeberkan, bagaimana Rabi’ah tak merasakan rasa sakit dan kemelaratan. Sampai-sampai teman-teman dekatnya merasa kasihan pada wanita ini. Mereka secara terus-menerus menasihati Rabi’ah tentang penderitaan yang dialaminya, dan berusaha memberikan pertolongan.

Tapi niat itu justru berbuah sebaliknya. Buat Rabi’ah, yang merasa kasihan terhadapnya adalah keliru. Ia malah yang kasihan melihat teman-temannya itu, yang masih memikirkan persoalan duniawi.

Suatu hari kepala Rabi’ah bocor tertimpa ranting pohon. Darah terus mengucur dari keningnya. Rabi’ah yang tak menyisakan waktu selain untuk beribadah, tak merasakan sakit itu. Sampai akhirnya ada seseorang yang iba melihatnya, dan ia berkata, “Apakah engkau tak merasakan sakitnya?”

Apa jawaban Rabi’ah? “Kepedulianku hanyalah bagaimana aku melaksanakan keinginan-Nya. Ia telah menganugerahkan sesuatu yang lebih besar dibanding masalah kecil ini.”

Dikisahkan juga, suatu malam ia sedang berdoa memohon pada Allah. Namun karena terlalu khusyuk dan lelah, ia tertidur. Salah satu urat di matanya putus. Akibatnya, ketika terbangun ia tak merasakan apa-apa.

Pada suatu hari, Rabi’ah jatuh sakit, dan kali ini sakitnya sangat serius. Salah seorang temannya bertanya, kira-kira apa penyebab sakitnya. Jawab Rabi’ah, “aku melihat surga, dan karena belum saatnya tiba, Allah menghukumku. Pada siang hari hatiku melihat ke arah surga. Allah telah menghampiriku. Sakit ini adalah pendekatan dari-Nya.”

Masih dalam keadaan sakit, Rabi’ah dihampiri oleh Hasan Basri. Hasan menuturkan, dalam perjalanan menuju rumah Rabi’ah, ia melihat seorang pedagang dari Basrah berada di depan pintu kediaman Rabi’ah. Pedagang itu sambil menangis memegang dompet berisi emas. Lalu Hasan bertanya, “Hai pedagang, apa yang membuat kamu menangis?”

“Aku sangat mengasihi Rabi’ah sebagai salah satu tokoh utama penganut asketisme. Jika doanya bagi manusia terhenti, maka manusia akan mengalami kerapuhan. Aku datang untuk sekadar membantunya, namun aku takut ia akan menolak bantuanku. Mohon engkau dapat membujuknya untuk menerima bantuanku ini, “jawab pedagang itu. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar