Humaniora

Mitos Perang Bubat : Dyah Pitaloka dan Pengikutnya Bunuh Diri

Meski beberapa prasasti di situs Kawali tidak mencantumkan angka tahun, tapi berdasar bentuk huruf dan bahasa yang digunakan, prasasti itu berasal dari abad ke-14 Masehi.

Menurut cerita rakyat, nama-nama yang tertera dalam prasasti itu pernah jadi raja di tatar Sunda. Dia adalah Rahyang Niskala Wastu Kancana dan Rahyang Dewa Niskala.

Tokoh prabu raja Wastu yang disebut dalam prasasti adalah Raja Niskala Wastu Kancana, yang merupakan raja Sunda yang cukup terkenal. Pesan gaib pada prasasti ini mengambarkan bagaimana kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara pada masa pemerintahannya.

Niskala Wastu Kancana adalah anak laki-laki Prabu Maharaja, yang memerintah selama 7 tahun. Ia kemudian tewas ketika mengantar putrinya ke Majapahit.

Diceritakan, pada waktu itu, Raja Majapahit Hayam Wuruk, berniat melamar putri Galuh yang bernama Dyah Pitaloka atau Citrarasmi. Raja terpesona kecantikan Dyah Pitaloka setelah melihat gambarnya yang dilukis oleh pelukis yang sengaja pergi ke Kerajaan Sunda.

Sehubungan dengan perkawinan itu, Prabu Maharaja mengantarkan putrinya itu ke Majapahit. Sedangkan Niskala Wastu Kancana tidak ikut, karena waktu itu ia masih kecil.

Sesampai di Majapahit, rombongan dari kerajaan Sunda ditempatkan di Bubat. Ternyata, patih Gajah Mada menolak cara-cara pernikahan seperti itu. Ia mengatakan kepada Prabu Hayam Wuruk, tidak pantas mempersunting Dyah Pitaloka. Sebab Kerajaan Majapahit jauh lebih besar dibandingkan kerajaan Sunda.

Oleh karena itu, pihak Majapahit mengirim utusan ke Prabu Maharaja agar memberikan Dyah Pitaloka sebagai persembahan atau upeti kepada Hayam Wuruk. Untuk mempertahankan harga diri, Prabu Maharaja menolak keinginan Hayam Wuruk. Ketika itu rombongan Prabu Maharaja telah tiba di daerah Bubat. Karena tidak ada kata sepakat, terjadilah perselisihan yang berujung perang saudara.

Sang Prabu Maharaja dan rombongan, akhirnya gugur di Bubat. Sementara kaum perempuan yang ikut ke Bubat, termasuk Dyah Pitaloka melakukan belapati dengan bunuh diri massal.

Ketika Prabu Maharaja gugur di Bubat, Niskala Wastu Kancana masih kecil, berusia 9 tahun. Sepeninggal almarhum, raja Wastu Kancana berada di bawah asuhan pamannya, yakni adik ayahnya bernama Hyang Bunisora atau Suradipati.

Untuk menjalankan roda pemerintahan, Hyang Bunisora menggantikan perannya sebagai kepala pemerintah selama 14 tahun. Beranjak dewasa, Niskala Wastu Kancana, yang juga dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, menggantikan prabu Maharaja yang bergelar Prabu Wangi, karena telah mempertahankan martabatnya di Bubat.

Ia menerima tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Prabu Siliwangi memerintah selama 104 tahun (1371-475 M). Masa pemerintahan Prabu Wastu Kancana sangat lama. Itu karena sang prabu selalu menjalankan agama dengan taat.

Selain itu, dia juga selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat. Ini dapat terbaca dalam prasasti Kawali I sampai VI yang dibuat olehnya.

Dari prasasti-prasti itu, diperoleh gambaran bahwa Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana yang bertahta di Kota Kawali, selain telah memperindah keratonnya yang bernama Surawisesa, ia juga telah membuat parit di sekeliling ibukota dan telah memakmurkan seluruh desa di wilayahnya.

Niskala Wastu Kancana adalah seorang raja yang bijaksana. Di bawah pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana ini, tetua kampung nikmat makan, sang resi tenteram menjalankan peraturan keresiannya dan mengamalkan purbatisti purbajati (adat dan tradisi leluhur).

Rakyat dengan tenteram mengadakan perjanjian-perjanjian memakai aturan yang berkaian dengan kehidupan. Sang prabu juga membagi-bagi hutan dan kitarannya dengan adil. Tidak ada beda antara si kecil maupun si besar.

Sebagai telatah sejarah yang dikeramatkan, tak jarang dari kompleks situs Astana Gede (situs Kawali) ini mengeluarkan tanda-tanda mistis yang sulit diterima logika sehat. Beberapa tokoh masyrakat di sana, mengatakan hal itu sebagai pesan karuhun kepada cucunya.

Misalnya pada waktu-waktu tertentu sering terlihat adanya asap halus yang menyelimuti beberapa bagian kompleks. Seperti diungkap Akup Wiria (60), kuncen karuhun mereka juga bimbang melihat kondisi negara seperti saat ini. Sebab bila dibandingkan dengan keadaan karuhun di masa lampau, sangat jauh berbeda.

Kini, rakyat sedang mengalami kesusahan. Yang disesalkan adalah penyebabnya, yakni karena perbuatan para pemimpin negeri yang tidak becus. Pernah beberapa waktu lalu, ketika diadakan pertunjukan seni tradisional di depan kompleks Astana Gede. Kebetulan cerita yang dibawakan adalah tentang Perang Bubat.

Seperti biasa, sarana penerangan hanya mempergunakan obor-obor setinggi 6 meter. Yang menyaksikan pertunjukan seni itu sendiri mencapai ribuan orang. Nah, ketika pertunjukan tengah berlangsung, tiba-tiba obor-obor itu menyala sendiri. Padahal, semua orang tahu bila obor itu memang belum dinyalakan.

Nyala obor itu beriringin pada obor-obor lain yang dipasang di beberapa tempat. Hampir sebagian penonton yang menyaksikan itu terpana. Namun meski dilingkupi kekagetan, orang-orang disana sudah paham. Sebab beberapa waktu sebelumnya, kejadian serupa pernah terjadi. Itu salah satu isyarat karuhun yang biasa muncul di tempat ini, urai Akup. eko/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar