Lingkungan

Ini Tenun Ikat Tanini Pulau Timor yang Eksotik

Tenun ikat yang diproduksi kaum ibu di Desa Tanini, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) segera diproduksi secara massal. Dewan dan Dinas Perindustrian setempat menyokong sepenuhnya kerajinan tangan khas Kupang itu.

Untuk rencana produksi massal, lembaga sosial kemasyarakatan Sonaf Marthin tengah menggembleng kaum ibu warga Tanini untuk mengikuti pelatihan cara membuat tenun ikat.

Johny Manoe, Ketua Sonaf Marthin mengaku bangga tenun produksi warga binaannya mendapat apresiasi. “Tanggal 17 Januari lalu, kami mendapat kehormatan dikunjungi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang, Deasy Ballo Foeh. Ini menjadi indikator tenun ikat Tanini mulai dilirik,” ujar Johny.

Dalam kunjungannya, Deasy menyemangati para ibu agar terus berkarya untuk menopang ekonomi. “Bu Deasy berpendapat bahwa apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan program pemerintah tentang ekonomi kreatif,” imbuh Johny.

Dalam waktu dekat, Johny akan memberi kesempatan untuk lima orang warga mengikuti diklat selama dua minggu. Mereka akan diberi bantuan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan bahan baku. “Masing-masing memperoleh satu paket yang jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 6-7 juta,” terang Johny.

Diakuinya, saat ini pemasaran belum dilakukan secara serius karena memang produksinya masih terbatas dan kualitasnya masih terbilang rendah. Dengan mengikuti pelatihan secara intensif, Johny berharap kaum ibu Tanini lebih handal dalam membuat tenun ikat. “Paling tidak, apa yang kami lakukan mampu mengangkat taraf perekonomian warga Desa Tanini,” ujar Johny.

Dalam waktu dekat kaum ibu di Desa Tanini, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memproduksi tenun ikat secara massal. Untuk keperluan itu, Sonaf Marthin sebagai lembaga sosial pimpinan Johny Manoe, telah mempersiapkan SDM-nya.

Tenun ikat khas Kupang ini memiliki beragam corak dan motif yang sangat eksotis. Pengerjaannya dengan cara tradisional. Jenis tenunan yang diproduksi kaum ibu Desa Tanini ini, setidaknya terdiri dari lima jenis, disesuaikan dengan fungsi masing-masing.

Pengerjaan setiap jenis hasil tenunan menghabiskan waktu yang berbeda. Misalnya, untuk sebuah selimut, menghabiskan waktu selama seminggu. Sedangkan untuk sebuah selendang menghabiskan waktu tiga hari. “Nanti setelah kaum ibu mengikuti pelatihan, kami harapkan mereka semakin cekatan sehingga waktu pengerjaan bisa lebih singkat,” kata Johny.

Ini ragam tenun ikat yang diproduksi kaum ibu Desa Tanini:

Betik (selimut) biasanya dikenakan oleh kaum lelaki.

Futus (ikat pinggang), biasanya digunakan kaum lelaki untuk mengencangkan betik yang dikenakan.

Tais (sarung), biasanya dikenakan oleh kaum perempuan.

Betana (selendang), biasanya dikalungkan di leher, atau berfungsi pula sebagai penutup kepala kaum ibu untuk menghindari terik matahari.

Alu kosu (saku gantung), digunakan kaum lelaki sebagai wadah sirih dan pinang untuk disajikan kepada orang lain saat mereka saling bertemu. Tatang Budimansyah


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar