Politik

Dijegal Uni Eropa, Ini 12 Pernyataan Sikap 3 Negara Penghasil Sawit

PEKANBARU - The Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) atau Dewan Negara-Negara Penghasil Kelapa Sawit mengambil langkah usai digelarnya pertemuan terbaru di di Cartagena, Kolombia 26 September 2018. Pertemuan itu diikuti menteri, duta besar, dan  pimpinan perusahaan dari Indonesia, Malaysia, dan Kolombia.

Tujuan rapat itu diantaranya menentukan wilayah-wilayah ekspansi CPOPC dan mendiskusikan isu-isu relevan terkait kelapa sawit dan kontribusi signifikannya dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG) 2030.

Dalam pertemuan itu disepakati bahwa ada permintaan yang hampir tak terpuaskan terhadap kelapa sawit dalam sektor minyak nabati global.  Dan untuk menghadapinya, negara penghasil minyak kelapa sawit perlu menangani dengan baik dan hati-hati keberlanjutan kelapa sawit di masa depan.

Sebuah elemen penting juga dari pertemuan ini adalah penguatan petani kecil dalam meningkatkan produktivitasnya pada lahan garapan yang ada.

Hal yang menarik juga terkait perkembangan kebijakan terbaru oleh Komisi Eropa tentang biofuel yang dianggap menghambat pasar Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil). CPOPC dalam rilis yang dikirimkan ke sawit+.co tertandatangan Mahendra Siregar selaku Executive Director menyampaikan pernyataan berikut:


1. Dibawah Renewable Energy Directive I (RED I) atau Arah Kebijakan Energi Terbarukan, Komisi Eropa diberikan tugas untuk menentukan kriteria perubahan tidak langsung penggunaan lahan atau Indirect Land Use Change (ILUC) untuk membedakan mana yang beresiko tinggi dan rendah pada sektor minyak nabati dalam penggunaannya secara umum untuk biofuel.

2. Ada beberapa model ILUC yang telah ditawarkan tapi tidak ada yang bisa menyediakan bukti akhir secara jelas membedakan yang resiko tinggi dan rendah untuk itu. Padahal komisi sudah diamanatkan membuat kriterianya menjelang Februari 2019 agar perbedaannya jelas.

3. Konsep ILUC adalah dari Amerika Serikat dan Eropa, sehingga tidak bisa diterima secara global pendekatan dan standarnya untuk menilai dampak ILUC terhadap perubahan iklim. Hal ini memang menyokong kebijakan Uni Eropa tapi bukanlah sebuah norma internasional untuk negera-negara penghasil minyak kelapa sawit agar bisa maupun harus membangun kebijakan lingkungannya.

4. CPOPC memperhatikan fakta bahwa lebih dari 1,7 miliar hektare lahan digunakan untuk produksi tanaman secara global, namun hanya 4 persen mau menyumbang untuk biofuel. Dalam pandangan kami, sangat sedikitnya penggunaan lahan untuk biofuel menimbulkan pertanyaan pada alasan paling dasar pada ILUC meminta penanaman dari minyak nabati untuk biofuel. Padahal kebutuhan terbesar lahan global adalah produksi tanaman untuk pemberian makanan untuk hewan dan manusia, bukan biofuel.

5. Ketika CPOPC berpikir bahwa komunitas ilmiah negara-negara penghasil minyak sawit harus disatukan dengan satu komisi, banyak pemerintah-pemerintah negara berkembang penuh ketakutan akan dipandang mengetahui, menerima dan menawarkan legitimasinya ke skema ILUC dan RED II.

6. Negara-negara Penghasil Minyak Sawit mesti keberatan dalam beberapa pekan ke depan terkait kriteria objektif yang dibuat apakah bisa diaplikasikan secara adil terhadap semua minyak nabati. Dengan segala hormat, bahwa ada pemikiran bahwa minyak sawit akan ditarget sebagai beberapa Model Uni Eropa yang diasosiasikan dengan konversi hutan dan tanah gambut dengan ILUC.

7. CPOPC berpandangan bahwa penggunaan ILUC untuk mentarget minyak kelapa sawit bisa merupakan suatu pelanggaran dasar prinsip-prinsip non-diskriminasi Sistem multilateral WTO dan segala regulasi dan keputusan seperti membentuk batasan teknis dalam perdagangan. Dengan segala hormat, akan ada pemikiran bahwa ILUC digunakan Komisi Eropa sebagai topeng samaran "proteksionisme", khususnya untuk merusak kompetitifnya kelapa sawit dibanding tanaman biji minyak Eropa.

8. CPOPC tidak begitu penting mengikuti pertimbangan ini, tapi kami mempercayai Uni Eropa juga seharusnya mempermasalahkan penyimpanan karbon di tanah-tanah yang telah dikonversi dari hutan dan gambut di Eropa, sama dengan menghitung produktifitas relatif minyak nabati dan pentingnya bahwa ini akan bermain dalam melindungi tanah kosong global ketika permintaan global juga menunjukkan tidak adanya tanda-tanda penurunan.

9. Ada perhatian lebih luas yang telah diekspresikan oleh negara penghasil minyak sawit bahwa kriteria seharusnya juga memperhitungkan dampak dari sejarah deforestasi di Eropa. Ini bisa diargumentasikan bahwa skema yang diberikan kurang objektif.

10. ????? mendukung persetujuan global yang diambil semua anggota PBB untuk mencapai SDG 2030. Dalam konteks ini, tak ada keraguan bahwa minyak kelapa sawit telah berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan dan perkembangan ekonomi sosial negara-negara penghasil minyak kelapa sawit. Tapi kami juga tahu sekali pentingnya memperhatikan lingkungan untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit tetap diproduksi berkelanjutan.

11. CPOPC melihat bahwa SDG tidak berarti sebuah jual beli antara perkembangan ekonomi dan sosial dengan lingkungan, tapi lebih pada kebutuhan menyeimbangkan tujuan-tujuan SDG dan CPOPC serta negara penghasil minyak kelapa sawit lainnya mempenyai keinginan dan terbuka untuk berdampingan dengan mitra dagang dan pemangku kepentingan dalam bagaimana mencapai SDG di sektor minyak nabati.


12. Berlawanan  dengan arahan Uni Eropa RED II, CPOPC meyakini bahwa promosi generasi pertama biofuel adalah elemen penting dalam mencapai SDG negara penghasil minyak kelapa sawit. Penggunaan minyak nabati pada biofuel penting untuk memerangi perubahan iklim dan juga penting bagi semua pemerintah negara penghasil minyak sawit untuk meyakinkan kembali dan memberikan kepastian untuk industri kami bahwa investasi biofuel juga tidak akan dirusak seperti yang dilakukan Uni Eropa dalam masalah ini. Bay


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar