Humaniora

Mengenal Ajaran Sikh di Indonesia (1) : Gurdwara Sikh Mirip Masjid

Pada tahun 1999, berdiri sebuah kuil Sikh di kawasan Tanjung Priok Jakarta. Kuil ini menarik, karena bentuk bangunannya menyerupai masjid. Benarkah ajarannya yang merupakan aliran dari agama Hindu itu memang mempunyai beberapa kesamaan dengan agama Islam?

Peresmian Hindho Sikh Temple (Kuil Sikh Hindu) di Jl Melur, kawasan Tanjung Priok Jakarta 14 April 1999 dihadiri Menteri Agama RI kala itu, Malik Fadjar. Pendirian kuil ini sempat menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Soalnya Sikh dianggap sebagai agama baru yang muncul dan hendak berkembang di Indonesia.

Dalam pemahaman itu, bukan cuma enam agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Khong Hu Cu dan Katolik) yang diakui sah. Ada satu agama lagi, yaitu Sikh. Padahal, secara formal, Sikh merupakan aliran dalam agama Hindu.

Hebohnya, ajaran asal India itu juga mengklaim banyak kesamaan dengan Islam. Dan beberapa penulis kitab suci Sikh, ternyata, juga berasal dari tokoh sufi India. Benarkah itu? Berikut laporannya, yang digali dari informasi para pengikut dan tokoh Sikh di Jakarta.

Serupa tapi tak sama. Itulah kesan yang ditangkap ketika melihat bangunan kuil Sikh (Sikh Temple) yang dikenal dengan istilah Gurdwara, yang terletak di Jl Melur IV/8 Koja atau Tanjung Priok Jakarta. Kuil suci bagi umat Sikh itu nyaris tidak berbeda dengan masjid. Ada beberapa menara tinggi menjulang ke langit. Tata letak ruang serambi luar, samping kiri dan kanan juga mempunyai banyak kesamaan.

Ruang utama (hall room) untuk sembahyang, persis seperti ruang masjid yang hendak dipakai sholat berjamaah. Cuma bedanya, formasi jamaah wanita untuk kuil Sikh terletak di samping kiri laki-laki, dan dalam satu ruangan. Sedang kalau di masjid, kaum hawa menempati ruang tersendiri.

Di hall room itu, juga terdapat altar atau kubah. Kalau di masjid, kubah itu disebut mimbar yang dijadikan tempat khatib yang akan memberikan khotbah. Di kuil Sikh, kubah itu berfungsi sebagai 'pelindung' Kitab Suci, yang merupakan center dari ajaran Sikh.

Altar dibuat lebih tinggi dari posisi jamaah (sengget). Sedang Kitab suci itu ditutup rapat dengan kain kemilau, dan baru saat akan dibaca kain itu dibuka. Kitab suci itu dikenal dengan nama Sri Guru Grant Sahib (kitab suci agama Sikh).

"Kitab suci adalah panutan kami, karena itu harus dihormati. Suatu pelanggaran besar, jika kami tidak menempatkan Kitab Suci pada tempat yang semestinya," kata Ketua Yayasan Kuil Sikh Tanjung Priok, Mohindar Singh.

Tak heran, ketika hendak jeprat-jepret di dalam, salah seorang pengurus Kuil langsung menegur dan memberi peci putih untuk dipakai. Peci yang juga biasa dipakai oleh santri di pondok pesantren Islam itu wajib disematkan jika hendak mendekati kitab suci, apalagi memotretnya. "Itu untuk etika saja. Merupakan salah satu penghormatan kepada Kitab Suci," ujar pengurus Kuil itu, Sukhjindar Singh.

Meski model bangunan sama, namun kuil Sikh punya ciri khusus yang merupakan warisan dari Guru Nanak (guru kesatu), dan Guru Gobind Singh (guru kesepuluh atau terakhir). Ciri pertama, di halaman depan kuil terdapat bendera khusus "Nishan Shihab" yang dipasang pada tiang tinggi.

Bendera itu berwarna kuning dan bergambar sebuah simbol khalsa (suci). Ciri yang kedua, di ruang belakang kuil terdapat dapur umum (Guru Ka Langgar). Tujuannya untuk menyediakan makanan, untuk para jamaah (sengget), baik dari kaum Sikh maupun bukan.

"Acara makan bersama itu selalu kami lakukan sehabis sembahyang. Jadi itu merupakan simbol dan wujud sedekah kami kepada sesama. Sengget yang bukan kaum Sikh, boleh bergabung. Dapur umum itu dibuat karena mengingat pentingnya keberadaan Gurdwara (Kuil) yang bukan hanya untuk sembahyang, tapi juga untuk urusan pengabdian sosial," kata Mohindar Singh, saat menjelaskan manfaat dapur itu. (bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar