Kalau ke Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, mampirlah ke Desa Rambanbiak. Ini merupakan desa yang memadukan ‘surga dan neraka’. Di musim kemarau, masuk desa ini mata kaki akan tertanam dalam debu. Kaki itu seperti terbenam dalam tanah.
Namun jika sampai di ujung jalan yang panas itu, air gemericik mengalir tanpa henti. Itu sungai yang dialirkan untuk kebutuhan warga se-desa. Untuk kebutuhan minum, mencuci, dan mandi sehari-hari.
Rambanbiak tak banyak dikenal. Kalaulah ada yang tahu, maka desa ini adalah desa miskin, dengan penduduk bercocok-tanam dan membuat batu bata. Itu pandangan yang terlihat dimana-mana.
Namun jika bergaul akrab dengan warga desa, maka eksotisme desa ini bisa terungkap. Desa ini pelahir seni tari yang senimannya memenuhi hotel-hotel di Kota Mataram. Juga hotel-hotel mewah di Pantai Senggigi.
Penari-penari itu tidak asal menari. Mereka bisa disebut sebagai pengamal. Artis dari sebuah kebudayaan lama, yang memadukan unsur keindahan dan sakralitas dari sebuah keyakinan. Maka jika ingin melihat yang unik-unik lagi, datang, bicara, dan lihat apa yang ada dalam desa ini.
Salahsatu yang unik di desa ini adalah dalam menyikapi orang sakit. Jika ada warga sakit yang tidak sembuh-sembuh, maka ritus yang disebut Pakon akan digelar. Itu sebuah penyembuhan alternatif yang sudah berjalan ratusan tahun.
Acara ini penuh misteri. Seperangkat alat dengan kendang beliq (besar) disediakan. Sesaji lengkap sejak siang dimasak gotong-royong oleh gadis-gadis yang belum menstruasi serta ibu-ibu yang sudah menopause.
Tumpeng dan seperangkat lauk itu dimasak tanpa garam. Ayam, sayur, dan sejenisnya terasa hambar. Ini nanti disantap di altar yang dibuat hanya dengan kain kafan dan jarik, yang dibentang di halaman rumah saat waktu tepat menunjuk angka nol-nol. Pukul 12 malam hari.
Si sakit yang sudah berminggu-minggu atau berbulan-bulan bergerak saja tidak bisa itu, digotong ke tengah altar. Musik mulai dibunyikan lembut, sesekali dihentak kendang beliq. Semua itu berjalan lambat, sampai ahirnya membentuk harmoni.
Tatkala musik sudah berjalan normal, pelan-pelan iramanya terus menaik. Kendang beliq menghentak keras, mengikuti alunan nada yang bergerak meninggi.
Jika sudah pada puncak irama, maka mendadak musik itu berhenti. Kini berganti suara suling yang disebut ‘pendodok sukma’ mengalun. Iramanya mengusik jiwa.
Jangan kaget. Saat itulah si sakit yang bergerak saja tidak bisa itu, tiba-tiba bangkit. Tubuhnya tidak lentur, tetapi kaku. Dia mirip sebatang kayu yang didirikan.
Dengan mata terpejam, dia kemudian bergerak lamban sambil menari. Seorang pawang ikut menari di dekatnya. Tangan si sakit menengadah, meminta pertolongan Yang Maha Kuasa.
Sekitar pukul 01.00 lewat, kendang beliq kembali ditabuh. Si sakit ikut bergerak kencang. Di tangan si sakit dilihat keluarga. Adakah cairan (apus), bubuk (bubus), atau kadang pil di tangan itu. Jika benda itu ada, masyarakat yakin, sakitnya akan sembuh dalam seminggu.
Jika tidak ditemukan benda itu, perlu ‘di-Pakon’ lagi hingga tiga kali. Kalaulah ‘muzizat’ itu tetap tidak ada, maka hanya dalam hitungan dua hari si sakit itu akan wassalam. Dipanggil Yang Kuasa.
Kendang terus rancak. Si sakit trance (kesurupan). Jika nanti mulai sadar, maka itu adalah tugas pawang untuk merangkul tubuhnya yang limbung dan jatuh kembali. Prosesi itu pernah saya ikuti di puluhan tahun lewat. Adakah sekarang masih ada, sejalan dengan nama desa yang sudah berganti menjadi Dasan Baru itu? Djoko Su’ud Sukahar