Di Kewar terdapat situs yang kadang sulit dinalar. Situs megalitik itu berada di ketinggian. Berbentuk punden berundak, yang mengesankan tradisi lingga yoni diamalkan di daerah ini. Disinilah persembahan darah dilakukan. Likurai yang sakral itu.
Situs Kewar memang belum terlacak hingga kini. Situs ini menyatu dalam satu area, yang isinya adalah benda-benda sakral berujut punden berundak. Rata-rata berbentuk yoni, lubang terbuat dari batu yang melambangkan kemaluan perempuan.
Biasanya dilengkapi dengan lingga yang melambangkan kemaluan laki-laki, yaitu semacam tongkat batu atau sejenisnya. Benda itu menancap untuk melengkapi yoni, sebagai lambang kesempurnaan.
Tapi di situs ini kelengkapan itu tidak ada. Informasi tentang keberadaannya tidak ada yang tahu. Dan rasanya, dinas kepurbakalaan hanya mencatat dan memberi denah, serta menyebutnya sebagai benda cagar budaya.
Tetua-tetua adat setempat menyebut, situs yang berada di Desa Kewar, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu itu dulu merupakan pusat dari ritus Likurai. Sebuah adat pemancungan kepala disertai tarian, yang darah musuh itu dituangkan dalam lobang situs ini.
Namun ketika zaman berubah, maka ritus itu diganti dengan pemotongan babi, darahnya dituangkan dalam benda sakral itu. Ini berkembang dalam banyak ritus, diantaranya untuk perkawinan dan sejenisnya. Kesaksian mahar kawin (belis) itu dipertontonkan dalam jamuan di situs ini.
Letak situs ini sebenarnya tidak jauh dari Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Namun karena lokasinya di ketinggian serta jalan yang belum mulus ke arah area ini, maka perlu waktu berjam-jam untuk mencapainya.
Itu pun dalam perjalanan seperti dikocok. Perut jadi mual-mual dan kepingin kencing melulu adalah bagian dari asyiknya mengunjungi situs yang berada di ketinggian ini. jss