Humaniora

Ini Tradisi Berdarah Dari Pulau Sumba

Pasola adalah gabungan antara kegembiraan dan kengerian. Tradisi khas Pulau Sumba ini melibatkan darah manusia. Makin banyak darah tertumpah ke bumi, makin sempurna ritual itu. Sang Dewa berkenan menurunkan kemakmuran bagi segenap warga Sumba.

Setiap bulan Februari dan Maret bisa dipastikan pulau paling selatan di kawasan Nusantara ini akan marak. Khususnya di bagian barat daya Pulau Sumba yang menjadi tempat pelaksanaan Pasola.

Pusat kemeriahan itu sekaligus rasa takut. Mengamati persiapan mereka, orang awam niscaya merasa ngeri dan terancam. Seolah-olah perang segera pecah di tanah Sumba. Dugaan ini tak sepenuhnya meleset, sebab Pasola memang dilaksanakan seperti perang yang sebenarnya.

Bagi penduduk asli Sumba yang menganut agama Marapu, Pasola adalah tradisi yang sangat dihormati. Bukan saja sebagai permohonan doa kepada dewata, melainkan juga sarana menumpahkan kegembiraan bersama. Uniknya, tradisi perang-perangan ini juga melibatkan senjata dan perlengkapan perang yang sesungguhnya. Jadi tak heran bila darah pun tumpah ke bumi.

Makin banyak darah yang tumpah, konon diyakini makin menyenangkan sang dewata. Meski jatuh korban, tak ada dendam di antara mereka. Sebab keyakinan agama Marapu menyebutkan, bahwa terluka dalam pasola berarti ia dihukum oleh sang dewata. Bahkan jika seseorang harus tewas dalam perang-perangan tersebut, maka tak seorang pun menyesalinya.

Kematian adalah hukuman karena telah melakukan pelanggaran, sehingga tak perlu ada penyesalan. Justru sebagai pengingat bagi lainnya agar tak mengulang kesalahan yang sama.

Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti senjata berupa tongkat bambu semacam lembing berdiameter 1,5 cm dan berujung tumpul. Meski tumpul, sola atau hola ini tak jarang memakan korban.

Sedangkan tradisi pasola adalah ritual perang-perangan yang dilakukan oleh para tokoh dan pemuda Sumba yang terpilih. Kedua kubu yang berperang masing-masing terdiri dari 100 prajurit atau lebih. Tiap prajurit perang mengenakan busana khas Sumba serta pernik-pernik yang melambangkan keberanian.

Perang bohong-bohongan ini dilakukan dengan mengendarai kuda pilihan. Mereka saling melempar sola atau lembing bambu ke arah lawannya. Biasanya korban luka segera berjatuhan dan keributan yang sesungguhnya kadang tak terelakkan. Karena itulah dibutuhkan kehadiran para pemuka agama dan tokoh setempat sebagai wasit serta penengah.

Masyarakat Sumba percaya bahwa pasola adalah penyeimbang bagi kehidupan mereka. Pasola dirancang untuk mengharmoniskan kebutuhan fisik dengan kebutuhan mental, alam materi dan alam gaib, serta kekuatan dan kelemahan.

Dengan keseimbangan ini bukan saja mereka akan mendapatkan restu dari sang dewata, melainkan juga kebahagiaan lahir dan batin. Sebagai akibatnya mereka melakukan dengan hati ringan dan gembira, sementara urusan hasil atau panen mereka serahkan sepenuhnya pada kehendak dewata.

Itulah mengapa pasola diaggap sangat penting, karena tradisi ini bisa juga dianggap sebagai sarana 'merayu' dewata agar berkenan menumpahkan kesejahteraan ke bumi dan seisinya.

Asal-Usul Pasola

Pasola dilaksanakan masyarakat Sumba sejak dahulu. Meski rentang waktunya sangat lama, legenda mengenai asal-usul pasola cukup jelas. Disebutkan bahwa ribuan tahun yang lalu hiduplah tiga bersaudara dari daerah Waiwuang (sekarang bernama Wanukaka). Salah satu dari mereka bernama Umbu Dula.

Ketiganya berniat untuk mencari padi yang siap panen di desa Masu Karera yang berlokasi di pantai selatan Sumba. Namun kepada warga desanya mereka berbohong dengan mengatakan pergi memancing. Setelah sekian lama, tiga bersaudara yang cukup dikenal ini tak menampakkan diri kembali pulang. Warga desa menjadi panik dan gelisah. Jangan-jangan mereka tersesat atau tewas dimakan binatang buas. Usaha pencarian dilakukan namun selalu sia-sia. Akhirnya mereka menganggap ketiganya telah tewas di perjalanan.

Umbu Dula memiliki seorang istri bernama Rambu Kaba. Sepeninggal suaminya, Rambu Kaba hidup sendiri. Di tengah rasa sepi, seorang pria dari Desa Kodi bernama Tedo Gai Parana meminangnya. Sebetulnya Rambu Kaba masih menyimpan cinta untuk suaminya, namun kesepian membuat dia menerima pinangan tersebut.

Di tengah kebahagiaannya itu Rambu Kana mendapat kejutan. Suaminya bersama kedua saudaranya kembali ke kampung halaman dalam keadaan sehat walafiat. Segera suami istri berlainan desa ini melarikan diri. Tiga bersaudara serta beberapa warga pun mengejar keduanya sampai dapat. Akhirnya di tengah sebuah lembah, persembunyian suami istri yang baru menikah ini ditemukan.

Umbu Dula merasa sangat marah dikhianati oleh istrinya. Keinginannya yang utama adalah membunuh Tedo Gai Parana. Karena rasa persaudaraan yang tinggi dengan Tedo, niat ini disambut oleh warga Kodi seperti genderang perang,. Pertempuran antara dua desa ini hampir saja terjadi. Kuda-kuda dan prajurit perang sudah disiapkan. Begitu pula para pemuka agama telah membekali mereka dengan mantra-mantra.

Untunglah, pada detik-detik terakhir Rambu Kana mendapat gagasan untuk mencegah pertumpahan darah. Atas usulannya sendiri, Rambu Kana memilih menjadi istri Tedo Gai Parana, namun Tedo harus menyerahkan sejumlah maskawin kepada Umbu Dula sebagai permohonan izin menikahi Rambu Kana.

Mas kawin itu berupa beberapa kerbau, kuda yang terlatih untuk perang, perhiasan, seperangkat lembing bambu atau sola, dan beberapa pedang. Salah satu mas kawin yang unik adalah nyale, yaitu sejenis cacing laut yang sangat digemari warga Sumba.

Nyale hanya muncul pada bulan-bulan tertentu. Pada penanggalan umum munculnya pada bulan Februari dan Maret. Kelak, pasangan Rambu Kana dan Tedo Gai Parana melahirkan anak-cucu yang akhirnya menjadi nenek moyang masyarakat Sumba. Peristiwa itu menjadi penanda penting yang diabadikan sebagai tradisi turun-temurun sampai kini. ma/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar