Jalaluddin benar-benar tunduk kepada guru barunya. Di matanya, Syamsi Tabriz benar-benar sempurna. Karena itu, Jalaluddin mulai jauh dari murid-muridnya. Mereka pun mulai menggurutu.
“Telah kami habiskan usia kami buat mengabdi kepada guru. Kami sudah banyak melihat kekeramatannya. Tetapi tiba-tiba datang orang asing yang selalu bertemu dan beranjangsana dengannya. Kami tidak bisa lagi memperoleh pelajaran dan bertatap muka. Lelaki asing itu tentu seorang tukang sihir yang pintar dan licik.”
Tak pelak lagi timbul permusuhan dan rasa benci murid-murid terhadap Syamsuddin yang semakin hari kian menjadi. Mereka malahan bermaksud mengusirnya dari Kauniyah agar mereka bisa kembali leluasa berkumpul dengan gurunya.
Syamsuddin bukan tidak tahu sikap murid Jalaluddin ini. Namun Syamsuddin sendiri menerima perlakuan murid-murid Jalaluddin dengan sangat sabar dan santun. Tetapi ketika sikap mereka sudah melampaui batas, Syamsuddin mulai khawatir, bahwa malapetaka dan fitnah bakal menimpa dirinya.
Dengan sembunyi-sembunyi, dia akhirnya meninggalkan Kauniyah. Peristiwa ini terjadi pertengahan Syawal tahun 643 Hijriyah. Setelah itu selama satu tahun empat bulan dia menetap di kota itu.
Alangkah sedih dan gundahnya Jalaluddin ditinggalkan gurunya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari seluruh muridnya. Dia tidak membiarkan mereka mengganggunya. Bahkan Jalaluddin bermaksud memutuskan hubungan dengan manusia. Dia ingin menyendiri.
Sampai pada suatu hari dia dikagetkan oleh datangnya sepucuk surat dari gurunya, yaitu Syamsuddin. Guru, yang memang sudah lama dinantikan bakarnya itu. Dalam surat ini tertulis alamat sang guru di Damaskus. (jss/bersambung)
