Politik

Pakar : Ada Syarat Pemberlakuan Strict Liability Bagi Korporasi

Pengajar IPB Basuki Sumawinata berpendapat, penerapan strict liability dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seharusnya diberlakukan kepada pihak penanggung jawab konsesi sebagai subyek hukum untuk memenuhi unsur keadilan bagi semua pihak.
Menurut Basuki, Pasal 88 yang mengatur pertanggungjawaban mutlak atau strict liability sangat jelas. Pasal itu berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Artinya, jika ditafsirkan sesuai aturan itu semua pihak mempunyai tanggung jawab yang sama.
Begitu juga dalam kasus kebakaran 20 hektar hutan gambut di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Desa Ie Meudama, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh yang terbakar, pekan lalu, seharusnya Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bisa dimintai pertanggungjawaban.
Apalagi, kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil merupakan kawasan lindung. Penetapan kawasan itu sebagai suaka margasatwa tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 166/Kpts-II/1998 dengan luas 102.500 hektar. Selain itu. Rawa Singkil merupakan daerah tangkapan air bagi warga sekitar.
Basuki yang kerap menjadi saksi ahli dalam banyak kasus kebakaran lahan mengharapkan, pemerintah perlu bersikap fair dan tidak menimpakan semua kesalahan akibat kebakaran hanya kepada korporasi. Tanggung jawab menjaga hutan menjadi tanggung jawab bersama.
"Tidak adil hanya menimpakan kesalahan kepada satu pihak. Bagaimana impelentasinya jika lahan yang terbakar merupakan area konflik. Siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban," kata Basuki.
Pakar Hukum Pidana Dr Chaerul Huda mengatakan, yang bisa dikenakan strict liability jika terbukti yang melakukan orang perusahaan, sesuai tujuan perusahaan dan menguntungkan perusahaan. "Jadi tidak semata mata ada api di konsesi perusahaan dan menimbulkan asap langsung dikenakan pasal strict liability,katanya.
Sementara itu, anggota Ombudsman, Laode Ida mengapreasiasi langkah Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) untuk mencabut uji materi terkait UU 33 tahun 2009 ke MK. Hanya saja, kata Laode, pemerintah harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan pengusaha agar berbagai aturan yang ada bisa diterapkan dan tidak menimbulkan masalah. Persoalan terbesar terutama yang dihadapi industri sawit adalah pemerintah belum mampu menjalin komunikasi yang intensif dengan dunia usaha. Padahal komunikasi itu sangat diperlukan memberi kepastian berusaha.
Menurut Laode, selama ini banyak menerima keluhan dari berbagai pihak mengenai dampak yang ditimbulkan dari peraturan yang dibuat pemerintah. Misalnya dari PP 57 Tahun 2016 tentang gambut yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum dalam berinvestasi.
"Tidak bisa satu kebijakan yang tidak memberikan kepastian dalam berbisnis. Gak bisa itu. bisnis ini sebetulnya bukan soal pemilik bisnisnya, tapi yang terpenting masyarakat yang memanfaatkan. aktivitas bisnis itu yang paling penting, karena di sana lah masyarakat mendapat penghasilan.


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar