Lingkungan

Pengamat : Laporan Penyerobotan Lahan di Desa Gondai Harus Secara Perdata

PEKANBARU - Persolan ekseskusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 3.323 hektare di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupeten Pelalawan masih berlanjut. Persoalan lahan antara PT Nusa Wana Raya (NWR) dan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) bersama masyarakat itu belum juga menemukan titik terang.

Pasalnya ada dua putusan yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) atas lahan tersebut. Pertama putusan pidana yang dilanjutkan dengan eksekusi lahan perkebunan sawit tersebut. 

Dan kedua putusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan MA setelah putusan pidana dan ekseskusi. Di mana dalam putusan kedua tersebut, MA menyatakan bahwa putusan eksekusi sebagai tindak lanjut dari putusan pidana tersebut tidak sah atau batal. 

Namun, saat putusan kedua tersebut diterbitkan, eksekusi lahan sudah dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau dan kejaksaan. Bahkan eksekusi sudah dilakukan terhadap sekitar 2.000 hektare lahan dan dihentikan karena terus mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit tersebut. 

Polemik lahan tersebut juga semakin panjang setelah Polda Riau mengusut dua koperasi yang ada di sana dengan dugaan penyerobotan lahan dan panen sawit secara ilegal. Kedua koperasi tersebut adalah Koperasi Gondai Bersatu dan Koperasi Sri Gumala Sakti. Bukan hanya itu, berdasarkan laporan dari PT NWR, Polda Riau juga mengusut PT PSJ karena menerima kelapa sawit dari kedua koperasi tersebut. 

Dilihat dari fakta-fakta yang ada, Pengamat Hukum dari Universitas Riau, Erdiansyah SH menilai, satu-satunya cara tepat untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah secara perdata. Hal ini lantaran masyarakat juga memiliki SKGR sebagai bukti kepemilikan lahan tersebut. 

Erdiansyah menyatakan, SKGR merupakan alas hak yang diakui oleh negara. Sehingga kepemilikan lahan oleh masyarakat dengan perusahaan yang juga mengaku punya alas hak harus diuji secara formil di pengadilan. 

"Karena masyarakat yang tergabung dalam koperasi mengaku punya SKGR di lahan itu, perusahaan juga," kata Erdiansyah, Sabtu (27/3/2021). 

Di pengadilan, majelis hakim akan memutuskan siapa yang berhak atas lahan itu. Jika keputusan keperdataan sudah berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya dilakukan eksekusi. 

"Keperdataan ini harus didudukkan, kalau belum duduk soal perdatanya, masyarakat masih berhak. Kalau nanti sudah ada putusan perdata, silahkan eksekusi," katanya.

Kemudian terkait penyidikan yang dilakukan oleh Polda Riau atas laporan PT NWR terkait dugaan penyerobotan lahan, Erdiansyah mengatakan, dalam hal ini penyidik harus benar-benar membuktikannya. Apalagi masyarakat yang digugat memiliki SKGR dan berarti telah diakui negara. Dengan bukti SKGR ini, ujarnya, tidak patut jika masyarakat disebut menyerobot lahan tersebut. 

"Penyerobotan itu bertanam di lahan orang, bertanam tanpa punya alas hak, kalau ada surat berarti bukan penyerobotan" katanya. 

Erdiansyah juga menyebutkan bahwa masyarakat masih punya hak atas hasil tanaman yang ditanam di lahan tersebut. Pasalnya masyarakat berkebun atas dasar SKGR sebagai alas hak. 

Sementara itu, PT PSJ yang dikonfirmasi melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Asep Ruhiat dan Partners, Wiria Nata Atmaja di dampingi Aswam dan Feri Adi Pransista, mengatakan pihaknya sangat menyayangkan atas penyidikan yang dilakukan Polda Riau. 

"Melihat proses hukum yang ada, kami merasa sedih. Semestinya PT NWR yang diproses secara hukum bersama DLHK karena diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum pengrusakan dengan membabat habis sawit yang lagi produktif dan meratakannya," kata Wiria.

"Sekarang kami lagi menyiapkan gugatan ganti rugi. mudah-mudahan tidak lama lagi keadilan bisa berpihak pada yang benar," harapnya. (Bayu)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar