SURABAYA-Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya berinovasi merancang beton SCC dengan memanfaatkan limbah kelapa sawit. Inovasi tersebut didasarkan pada perkembangan teknologi beton yang saat ini mengarah pada beton dengan tingkat fluiditas yang tinggi dan tidak memerlukan alat pemadat atau dikenal dengan Self Compacting Concrete (SCC).
Tim yang bernama WcFlurry ini memilih abu pembakaran dari limbah kelapa sawit atau Palm Oil Fuel Ash (POFA) sebagai material pengganti semen. Menurut salah satu anggota tim, Cita Nanda Kusuma Negari, selama ini pemanfaatan limbah kelapa sawit masih minim dan belum terkelola dengan baik. Selain itu, limbah kelapa sawit dianggap menjadi masalah bagi industri kelapa sawit karena memerlukan lahan pembuangan yang luas dan jumlahnya yang terus meningkat.
"Jadi, kami ingin mengangkat konsep sustainable atau keberlanjutan dari poin-poin tersebut," kata mahasiswa Departemen Teknik Sipil seperti ditulis Republika, Rabu (12/12).
Perempuan yang akrab disapa Cita ini memaparkan, limbah terlebih dahulu harus disaring sampai lolos ayakan nomor 325. Tujuannya, agar ukuran partikel dapat terkontrol sesuai dengan ukuran semen sehingga bisa reaktif. Apabila ukuran partikelnya lebih besar dari ukuran semen, limbah hanya akan bekerja sebagai bahan pengisi, bukan sebagai pengikat.
Menurut dia, limbah sebagai substitusi semen memiliki kandungan pozolanik seperti silika, alumina, dan besi yang tinggi. Kandungan tersebut berguna untuk membantu reaksi hidrasi sekunder yang dapat meningkatkan kekuatan beton.
"Pozolannya lebih dari 70 persen sehingga sudah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)," ujar dia.
Beton SCC buatan tim tersebut telah melewati proses uji slump flow, L-Box, dan compressive strength. Uji slump flow dan L-Box ini berfungsi mengetahui kelecakan (workability) dari campuran beton segar guna menentukkan tingkat kemampuan kerjanya. Sedangkan compressive strength atau uji tekan berfungsi untuk menguji kekuatan materialnya.
Dari hasil uji, slump flow menunjukkan nilai 685 milimeter, sehingga lolos standar The European Federation of Specialist Construction Chemicals and Concrete Systems (EFNARC) sebesar 500 milimeter. Sedangkan untuk compressive strength mendapat nilai rata-rata 26 megapascal.
Cita menceritakan dalam penelitiannya, dia bersama timnya yang terdiri dari Agus Bastian dan David Gideon, harus berulang kali melakukan uji coba untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan target. Dengan hasil inovasinya tersebut, tim ini pun telah berhasil menyabet juara ketiga dalam ajang International Concrete Competition (ICC) 2018 di Universitas Sebelas Maret (UNS).**