Mengenal Ajaran Sikh di Indonesia (3) : Penganut Hindu Tapi Tak Mengenal Kasta

Senin, 23 Juli 2018

Meski secara historis perkembangan agama Sikh telah mandiri dan eksistensinya diakui sebagai agama tersendiri, namun pengikut Sikh di Indonesia tidak merasa bahwa Sikh adalah agama tersendiri. Menurutnya, Sikh adalah sebuah aliran (cabang) dari agama Hindu.

"Tidak jauh beda dengan Kristen yang terbagi ke dalam Katolik dan Protestan, atau Islam yang menjelma menjadi NU dan Muhammadiyah," tutur Mohindar Singh.

Jadi, jelas Mohindar, secara resmi Sikh tidak tercatat sebagai agama tersendiri. Pengikut Sikh adalah penganut agama Hindu. "Tapi kami punya metode ritual sendiri," imbuhnya. Karena itu, lanjutnya, tidak ada persoalan prinsip tentang keberadaan Sikh, yang menurut sebagian orang dianggap sebagai agama baru yang membahayakan.

Memang, semua jamaah (sengget) yang datang ke kuil Sikh Tanjung Priok setiap Minggu, pukul 07.00-09.00, adalah para umat Hindu. Sekitar 100 hingga 200 jamaah dipastikan memadati kuil cukup megah itu. Namun, menariknya dari kuil Sikh, jamaah tidak dibatasi hanya dari kalangan Hindu atau Sikh, tetapi umat manapun dipersilahkan. "Mereka bisa melakukan sembahyang menurut cara mereka sendiri," ujar Mohindar. Jadi, intinya, ada tata cara bersifat umum, dan ada yang khusus. Yang khusus itu harus dilakukan bersama, seperti makan sedekah yang tersedia di dapur umum.

Hebohnya, meski Sikh merupakan sebuah aliran agama Hindu, namun secara tegas penganut Sikh menolak beberapa doktrin Hindu. Di antaranya ---yang populer-- ajaran tentang Kasta (tingkatan). "Ya, ajaran Sikh tidak mengenal Kasta. Kami semua sederajat di hadapan Tuhan. Tuhan hanya ada Satu. Tidak ada Dewa-dewa," tutur Mohindar Singh.

Dari ungkapan itu, muncul anggapan bahwa Sikh secara formal memang bagian dari Hindu dan bukan agama sendiri. Namun sebenarnya, secara substansial sudah menjadi agama sendiri. Soal mengapa secara formal diakui pemerintah sebagai bukan agama baru itu, bisa jadi merupakan 'cara' agar semata tidak membuat ricuh institusional (kelembagaan).

Menanggapi hal itu, Mohindar membantahnya. "Itu menyangkut hal yang prinsip. Semua penganut Sikh tahu, kalau Sikh adalah cabang dari Hindu. Toh, kalau kami bermasalah, mestinya sejak dulu. Sebab, Sikh ada di Indonesia sejak 165 tahun lalu. Di Jakarta sudah sekitar 95 tahun. Kami tidak pernah berbuat yang enggak-enggak. Kuil semacam ini justru untuk membantu kegiatan sosial, selain untuk sembahyang," ujarnya berargumen.

Mohindar lalu mencontohkan berbagai kegiatan sosial yang diemban di Kuil itu. "Misalnya saja ya, ada jamaah yang mengadukan masalah seperti keretakan rumah tangga. Kami selalu memberi bantuan berupa solusi terbaik yang dirapatkan oleh panitia kuil. Tidak jarang juga, karena kami ini yayasan, bantuan berupa materi juga kami berikan, seperti mengasuh anak yatim piatu, atau anak telantar," katanya.

Berdasarkan pantauan yang dilakukan beberapa bulan belakangan ini, Sikh memang sangat mengutamakan aktivitas sosial. Tidak ada sama sekali ajaran yang menganjurkan umatnya bersikap anti sosial. Malah, di kuil Sikh, tidak dikenal istilah pengembangan dakwah secara pro aktif. Kuil dibangun hanya untuk menampung jamaahnya yang terbatas.

"Sesuai dengan pesan Guru Gobind Singh, ajaran Sikh mengutamakan kerukunan, toleransi, memerangi kekerasan, dan tidak memaksa umat lain masuk dalam Sikh. Ini sudah teruji selama 95 tahun di Jakarta," tandas Mohindar. (bersambung)