Cinderamata di Desa Tenganan Itu Gombal dan Lontar

Selasa, 19 Juni 2018

Desa Bali Aga (baca : Bali Age) Tenganan memang spesial. Tidak hanya adat dan struktur rumahnya yang berdinding tanah liat itu. Souvenir yang dijual ke turis lokal maupun manca juga amat khusus. Terdiri dari kain lusuh dan lama (gombal), serta lontar.

Kain (batik) itu tidak asal kain. Kain ini sangat khusus. Punya nilai kesejarahan dan benar-benar dibuat tangan dengan pewarnaan alami. Maka sekilas melihat benda itu dipajang di artshop rumah-rumah penduduk, benda itu berkibaran seperti gombal.

Tapi coba Anda mampir dan tanya harganya. Hampir pasti yang tidak paham akan bergidik. Sebab kain itu harganya selangit. Ini memang bukan kain untuk dipakai, tetapi dikoleksi. Sedang kain yang bisa dipakai di desa ini adalah batik Geringsing yang juga mahal harganya karena dibuat khusus.

Souvenir lain yang bisa dibawa dari Tenganan Pagringsingan adalah lontar. Lontar dari daun pohon siwalan itu masih dalam bentuk kosong (belum bertulis). Jika ada yang pesan, lontar itu akan dituliskan, berisi kisah Ramayana dan Mahabharata.

Ini pun juga spesial. Sebab kisah Ramayana dan Mahabharata itu tidak hanya dituliskan dalam bahasa Sansekerta, Jawa, Batak atau Bali. Kisah itu dituliskan berdasar yang pesan. Jika yang pesan orang Jerman, kisah itu akan dituliskan dalam bahasa Jerman. Begitu juga dengan orang Jepang, China, maupun yang datang dari benua Afrika.

Para penjual lontar dengan multi talent itu biasanya duduk di tepi jalan. Pakai pakaian adat Bali kuno, dan bertelanjang dada. Maka kalau datang ke desa adat ini perlu jeli. Itu agar bisa mengenali lebih luas lagi tradisi, adat, budaya, dan segala apa saja yang terpampang di desa adat ini.

Dan satu lagi, jangan gampang menyentuh yang tidak boleh disentuh. Tanya dulu pada penduduk jika akan melakukan sesuatu. Sebab jika tidak, kalau Anda tidak kena denda, maka warga daerah ini yang bakal merugi. Itu karena banyak benda sakral yang kalau disentuh orang luar wajib disucikan kembali.

Mensucikan artinya menggelar upacara. Melakukan upacara butuh biaya. Nah biaya yang besar itu yang membebani. Padahal itu dilakukan hanya karena hal sepele, yang bagi orang luar ‘gitu aja kok nggak boleh’. Djoko Su’ud Sukahar