Politik

Batalkan PP Gambut, Karena Lahir Dari Salah Ambil Kesimpulan

Batalkan PP Gambut. Itu karena peraturan ini lahir dari kesimpulan yang salah. Untuk itu berbagai pihak sepakat akan melakukan penelitian bersama untuk menentukan penetapaan tinggi muka air tanah serta batas kriteria baku kerusakan gambut. Pihak-pihak yang akan melakukan penelitian bersama itu adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Badan Regulasi Gambut (BRG), perguruan tinggi,  Himpunan Gambut Indonesia (HGI),  korporasi serta para pemangku kepentingan lain. Mereka akan  melakukan penelitian bersama terkait penetapan tinggi muka air tanah (TMA) sebesar 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan, sebagai batas kriteria baku kerusakan gambut, “Pro dan kontra masih terjadi. Banyak pihak mempertanyakan karena hasil penelitian dilakukan pada hutan primer dan bukan kawasan gambut budidaya. Padahal, penetapan TMA 0,4 m sebagai kriteria kerusakan gambut yang tertuang pada  PP 57/2016 ditetapkan pada kawasan budidaya gambut,” kata Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham, Jumat (8/9). Supiandi berpendapat, kajian yang tidak apple to apple tersebut, seharusnya tidak menjadi dasar penetapan regulasi gambut. “Para pemangku kepentingan sepakat untuk melakukan penelitian bersama tinggi muka air di kawasan budidaya yang hasilnya bisa lebih relevan sebagai dasar penetapan TMA,” kata Supiandi. Pernyataan senada dikemukakan Nina Yulianti, pengajar pada  Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya. Menurut dia, hasil penelitian bersama sejumlah pihak termasuk pakar gambut Prof Hidenori Takahashi dari Universitas Hokkaido Jepang seharusnya tidak menjadi dasar penetapan kriteria kerusakan gambut. “Tinggi muka air 0,4 m seharusnya hanya menjadi indikator peringatan dini (early warning) adanya hotspot dan bukan sebagai dasar penetapan kriteria kerusakan gambut,”kata Nina. Pakar gambut IPB Basuki Sumawinata mengatakan, penelitian Universitas Hokkaido terkait titik penaatan 0,4 m tidak bisa menjadi dasar penetapan kriteria kerusakan gambut karena dilakukan pada dua tempat berbeda. Pengukuran 0,4 m dilakukan pada  hutan alam di Centrop UPR di Sabangau, Kalteng. Sedangkan penentuan hotspot dilakukan di Dadahup. Korelasi saja sudah janggal, sehingga ada kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Penelitian ini tidak bisa menjadi dasar untuk penetapan Peraturan Pemerintah (PP). “Ketika  TMA  di Sabangau turun lebih 0,4 m, maka hotspot di Dadahup kemungkinan bisa mencapai 1 meter dan mengakibatkan gambut kering dan mudah terbakar .” Bahkan, kata Basuki, ketika Universitas Hokkaido melakukan penelitian di Laboratorium alam hutan gambut (LAHG) Cimtrop UPR di Sabangau, lokasi penelitiannya terbakar beberapa kali karena tinggi muka air sulit diatur. “Jadi definisi kriteria kerusakan lahan gambut di kawasan budidaya dengan titik penaatan 0,4 m hingga saat ini tidak mempunyai dasar yang jelas. Gambut di hutan alam saja bisa turun lebih dari 0,4 m,” kata dia. Basuki juga mempertanyakan apakah  KLHK bisa menjamin saat terjadi el Nino pada kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab pemerintah bisa bertahan pada titik penaatan 0,4 m. “Bagaimana juga dengan klaim BRG yang berhasil merestorasi 680.000 hektar kawasan gambut. Pertanyaannya,  apakah pada kawasan yang direstorasi tersebut bisa ditetapkan titik penaatan 0,4 secara mutlak. Ini perlu jelas. Jangan hanya membuat aturan, tetapi tidak bisa melakukan.  Pemerintah punya tanggung jawab yang sama,” kata Basuki. jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar