Esok, hari Rabu (5/9/2017) pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) akan bicara di forum PBB. Diwakili Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono dan Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, keduanya akan menjelaskan tentang berbagai tudingan miring soal sawit.
Mengapa sawit terus didiskreditkan? Mengapa pemerintah tidak membela tapi malah kebijakannya terkesan ikut mendukung LSM asing yang menyerang sawit? Adakah sumbangan devisa Rp 400 triliun belum layak untuk memperjuangkan eksistensi sawit? Sebenarnya apa yang salah?
Untuk sedikit melihat gambaran itu, Sawitplus.com mengajak DR Alfan Alfian pengamat politik dari Unas membuka selubung itu. Melihatnya dari sisi politik, kendati secara sederhana, soal sawit ini adalah ‘perang dagang’ antara negara penghasil sawit dengan negara penghasil bunga matahari, kedelai dan rapseed, sebagai bahan baku minyak nabati.
Menurut Alfan Alfian, sawit merupakan komoditas strategis. Sebab memberi sumbangan terbesar devisa negara, memberi banyak lapangan kerja, dan sekarang sudah tampil sebagai produsen nomor satu dunia.
Sebagai komoditas strategis, harusnya dilindungi pemerintah. Tapi yang terjadi, justru pemerintah kurang melakukan itu. Terkesan membiarkan komoditas ini dihajar dengan black compaign di luar negeri, dan dari dalam negeri kebijakannya mendegradasi sawit. Salahsatu contoh adalah kebijakan Menteri LHK dengan PP Gambutnya. Political will pemerintah sangat lemah.
Jika pemerintah seperti itu, maka elit partai politik harus mendesak pemerintah untuk melakukan itu. DPR memaksa pemerintah agar perduli terhadap sawit. Tapi ternyata, mereka tidak menjangkau sawit.
Ada juga yang penting untuk melakukan pembelaan terhadap sawit, yaitu KEIN (Komite Ekonomi Industri Nasional). Ini merupakan akomodasi dari partai politik untuk ekonomi. Tapi mereka sama sekali tidak pernah bicara sawit.
“Lah bagaimana mereka yang duduk di KEIN itu. Jangankan melakukan pembelaan, ngomong sawit saja tidak. Harusnya ini wilayah mereka,” katanya.
Karena political will pemerintah yang lemah ini, maka secara konstestasi, sawit Indonesia kalah jauh dengan sawit Malaysia. Kendati secara kuantitas, kitalah pemegang atribut sebagai penghasil sawit terbesar dunia.
“Maka jika sekarang GAPKI sedang berjuang untuk memperjuangkan eksistensi sawit di PBB, sorry, bahwa itu saya katakan hanya sebagai ornamental. Sebab yang dibutuhkan adalah political will pemerintah,” katanya pada Sawitplus.com. jss