Mengenang Nani Wartabone

Usia Kemerdekaan Gorontalo Cuma Sebulan

Adalah kemerdekaan yang pendek. Sebulan sesudah ‘Proklamasi Kemerdekaan Nasional’ di Gorontalo, tentara Jepang mendarat. Tanggal 26 Februari sebuah kapal perang Jepang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo.

Karena Jepang adalah ‘saudara tua’, maka Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini. Harapannya, kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata salah. Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo tunduk pada Jepang.

Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia memutuskan meninggalkan Kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya di Suwawa. Ini politis, tanpa ada penyerahan kedaulatan.

Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana sebagai petani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal. Gorontalo sepi bagaikan kota mati.

Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah. Mereka menyebut Nani Wartabone sedang menghasut rakyat untuk memberontak pada Jepang.

Dari fitnah itu, Nani Wartabone ditangkap pada 30 Desember 1943. Dia dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone sehari semalam tubuhnya ditanam dalam tanah. Tinggal bagian kepala yang tersisa.

Itu dilakukan di pantai, di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak. jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar