Ekonomi

DR Emrizal Pakis SE,MM : Perekonomian Riau Mulai Terjadi Perlambatan

Provinsi Riau bila diukur secara ekonomi makro saat ini, bila dikaitkan dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), maka laju pertumbuhan PDRB di Riau cenderung menurun.

Era tahun 90-an hingga 2000-an, pertumbuhan perekonomian Riau bisa di atas 7 persen. Bahkan bisa hingga 8 persen. Untuk kawasan Sumatera sendiri, pertumbuhan ekonomi Riau termasuk tinggi saat itu. Tetapi, mulai tujuh tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi Riau di bawah 5 persen. Bahkan hingga ke angka dua persen. Hal ini menunjukkan, bahwa gerakan perekonomian di Riau mulai melambat.

Ditemui di ruang kerjanya di Gedung Koni Riau, Pakar Ekonomi yang menjabat Ketua Koni Riau itu, DR Emrizal Pakis SE MM, kepada Majalah Sawit Plus, bercerita banyak tentang persoalan ekonomi yang sedang dihadapi Provinsi Riau.

Menurut Emrizal yang pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Riau itu, faktor perlambatan ekonomi di Riau dipengaruhi secara nasional maupun internasional. Sebabnya ada beberapa harga komoditas yang menurun. Misalnya komoditas sektor pertanian, apakah itu kelapa sawit, karet, terjadi penurunan harga. Kalaupun ada kenaikan harga, namun kenaikannya lambat sehingga komoditas ini mempengaruhi perekonomian di Riau.

Perlambatan ekonomi, lanjut pria kelahiran Pranap Indragiri Hulu ini, juga dipengaruhi faktor produksi yang juga mengalamai penurunan.

"Tahun 80-an hingga 90-an, produksi pertanian masih tersedia dengan sangat baik. Lahan tersedia dalam kawasan-kawasan tata ruang. Ada kawasan yang namanya APL (Areal Penggunaan Lainnya) yang bisa dijadikan area perkebunan. Di sisi lain ada yang namanya kawasan konservasi, yaitu kawasan hutan, kawasan hutan lindung yang tidak bisa diproduksi untuk perkebunan," jelas mantan Asisten III Sekda Provinsi Riau ini.

Sekarang ini, lanjutnya, yang bisa diamati, untuk kawasan APL itu sangat terbatas, karena kawasan sudah terpakai full untuk aktifitas, baik itu untuk pertanian, industri, permukiman, perumahan. Jadi untuk menambah lagi kawasan yang digunakan untuk sektor pertanian sudah terbatas.

“Padahal setiap lahan yang berkembang itu dapat menghasilkan produksi yang terus bertambah. Karena produksi bertambah, maka nilai harga dan nilai produksi yang dihasilkan itu menjadi aset ekonomi yang berkembang di daerah,” tambahnya.

Menurutya, perlambatan ekonomi itu bisa dipengaruhi oleh harga komoditas secara nasional dan internasional yang terjadi penurunan. Kalaulah terjadi kenaikan, kenaikannya itu lambat sekali.

"Misalnya saja harga karet sekarang. Harga karet hanya berkisar enam ribu hingga tujuh ribu rupiah. Padahal dulunya bisa berkisar belasan ribu rupiah. Dan sekarang, bertahun-tahun harga karet di kisaran itu. Sedangkan untuk harga sawit sendiri, terjadi fluktuasi harga, dari Rp 1.500, sekarang tinggal Rp 1.000-an saja," ujarnya.

"Di Riau saat ini penambahan aset-aset produktif untuk sektor produksi sudah terbatas. Lahan yang tersedia tidak mencukupi lagi untuk pengembangan, karena kita sudah mempunyai batasan kawasan hutan dan kawasan hutan lindung. Inilah dua faktor yang mengakibatkan terjadi perlambatan itu," terang mantan Plt Gubernur Riau tahun 2016 silam ini.

Dari sekian lapangan usaha yang ada di Riau, lanjutnya, kontribusi terhadap PDRB ada 4 sektor usaha. Pertama, sektor pertambangan yang paling menonjol di Riau adalah minyak bumi. Selanjutnya, sektor pertanian, yang kendalanya keterbatasan perluasan lahan. Selain itu ada lagi sektor industri. Cuma industri di Riau yang berkembang dan memberikan kontribusi besar adalah industri besar.

Misanya saja industri kertas. Industri kertas ini juga sumbernya dari kayu yang jumlahnya mulai terbatas. "Karena bila mau mengembangkan HTI lagi, salah-salah bisa masuk ke kawasan hutan lindung dan lainnya. Ini yang mengakibatkan sektor industri jadi terbatas juga," jelasnya.

Berikutnya adalah sektor perdagangan. Perdagangan di Riau yang memberikan kontribusi besar adalah Crude Palm Oil (CPO), kertas, dan industri lainnya.

“Jadi yang menguasai perekonomian di Riau ini, berkisar ya itu-itu juga. Dari sektor pertanian yang memberikan bahan baku, kemudian sektor industri, perdagangan, pertambangan. Itu 4 sektor yang 70 persen memberikan kontribusi terhadap perekonomian di Riau terutama PDRB," terang pria kelahiran 14 September 1954 ini.

Masalah sekarang adalah adanya keterbatasan tadi. Untuk itu pemerintah harus mengubah kebijakan. Harus lebih meningkatkan produktifitas. Misalnya di sektor pertanian. Yang pertama memperbaiki bibit, kemudian memperbaiki sarana dan prasarana pertaniannya, seperti pupuk.

Selama ini, produktivitas yang tinggi itu masih di tangan perusahaan. Ini bisa terjadi karena petani menggunakan bibit yang biasa-biasa saja, pupuk yang tidak terkondisikan secara baik karena harga pupuk mahal. Akibatnya produktivitas rendah. "Jadi menurut saya, perbaiki kualitas, penanganan dan pemeliharaan. Pemerintah harus peduli tentang ini," ungkapnya.

Bila berbicara di luar pertanian, terangnya lagi, harus melakukan penguatan dari ekonomi kreatifnya. Jadi masyarakat tidak lagi terpancing dari SDA-nya saja, tapi juga pada pendekatan kualitas intelektualnya. “Sehingga bisa berproduksi dari pikirannya, berproduksi dari jasa keterampilannya. Apakah itu jasa kreatif kuliner, pariwisata, dan lainnya yang bisa memperbaiki kinerja perekonomian di Riau,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menerangkan, bahwa di Riau sendiri ada beberapa komoditas. Dan komoditas yang paling menonjol saat ini adalah sawit. Yang perlu digaris-bawahi terjadinya fluktuasi harga sawit.

"Bahkan ada harga sawit dari swadaya masyarakat yang dibeli di bawah Rp 1.000 oleh pabrik. Melihat hal ini pemerintah harusnya ikut serta berperan dalam pengendalian harga sawit ini," tukasnya.

"Kalau kita baca di media, pemerintah menyebutkan harga sawit yang usianya 10 tahun harganya Rp 1.500, yang usianya 3-4 tahun harganya Rp 1.300, ini sudah ditetapkan pemerintah melalui tim penentuan harga. Namun di lapangan apakah benar harganya segitu? Kalaupun ada perbedaannya, berapa besar perbedaannya. Jika perbedaannya sampai 40% hingga 50% dari harga yang ditetapkan pemerintah, ini berarti ada pengendalian harga yang kurang bagus di lapangan," urainya lagi.

Pemerintah, lanjutnya, harus intervensi dalam hal pengendalian harga ini. Dinas terkait harus turun ke lapangan, untuk melihat kenapa harga ini bermasalah. Mengapa harga tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

Kalaupun ada perbedaan berapa persen perbedaannya, karena harusnya perbedaannya tidak terlalu besar. Jika errornya hanya 10 persen berarti ada kesalahan dari faktor ekenomi lain, bisa jadi kesalahan transportasi dan lainnya.

Yang kita lihat saat ini di Riau, ungkapnya, petani-petani sawit itu sangat terbantu perekonomiannya. Keberadaan perkebunan sawit sangat mendorong kesejahteraan masyarakat. Masyarakat saat ini sudah punya sawit, sudah punya lahan.

"Tetapi kalau harganya tidak sesuai dengan harapan masyarakat, pendapatan masyarakat akan kembali turun, dan kesejahteraannya pun ikut menurun," tukasnya.

Jadi sekali lagi, lanjutnya, harga harus dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah juga harus membantu masyarakat dalam menaikkan produktivitasnya. Pertanian saat ini memang sangat sulit untuk dikembangkan lagi karena lahan yang tersedia sudah terbatas.

"Di sinilah menurut saya perkebunan sawit, khususnya di Riau sangat membantu. Membantu terhadap kesejahteraan masyarakat," jelasnya.

Tetapi, tambahnya, ada masalah yang berkembang yaitu mengenai alih-fungsi lahan. Dikarenakan sawit ini lebih menjanjikan, banyak terjadi alih-fungsi lahan. Misalnya, dari kebun karet menjadi sawit, lahan pertanian seperti persawahan menjadi sawit.

"Ini juga tidak baik. Karena monokultur tidak baik. Karenanya diversifikasi harus kita pertahankan. Lahan untuk tanaman pangan tetap dipertahankan, yang karet sebagai diversifikasi juga perlu dipertahankan.”

“Tinggal kembali lagi bagaimana masalah harga dan produktivitas. Jangan semuanya sawit, walaupun memang saat ini sawit dianggap lebih menjanjikan.
Monokultur tidak baik, karena bila terjadi problem dalam komunitas akan merusak secara keseluruhan," tutupnya. Ezy


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar