Jakarta - Pemerintah ingin mempeluas program penggunaan bauran minyak sawit dalam Solar sebesar 20 persen (Biodiesel 20/B20) kepada seluruh kendaraan bermesin diesel di Indonesia. Sebab, banyak manfaat yang didapat atas pelaksanaan program tersebut.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, dengan dilaksanakannya perluasan campuran minyak sawit pada Solar akan menghemat devisa. Pemanfaatan bahan baku lokal tersebut juga bisa mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Artinya bahwa CPO (crude palm oil) ini bisa digunakan untuk energi tanpa memberikan tekanan kepada sektor pangan,” kata Airlangga, dilansir dari liputan6.com. Senin (23/7/2018).
- Baca Juga Astra Agro Raih Anugerah Tempo dan TII
Sebelumnya B20 dalam konsumsi Solar hanya diwajibkan kepada kendaraan bersubsidi atau public service obligation (PSO) seperti kereta api.
Namun nantinya, B20 akan wajib digunakan pada kendaraan non-PSO seperti alat-alat berat di sektor pertambangan, traktor atau ekskavator, termasuk juga diperluas ke kendaraan-kendaraan pribadi.
“Untuk itu, pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang hanya mengisyaratkan kewajiban B20 kepada kendaraan PSO,”jelasnya.
Airlangga mengungkapkan, pasokan biodiesel nonsubsidi jumlahnya lebih besar daripada yang bersubsidi. Jumlah biodiesel nonsubsidi saat ini diproyeksi mencapai 16 juta ton.
“Berarti, ada penambahan demand biofuelhingga 3,2 juta ton per tahun. Namun, tahapan teknisnya akan dibahas berapa lama ini bisa dicapai,” tuturnya.
Airlangga menambahkan, Indonesia masih mencukupi bahan baku untuk memproduksi biodiesel, yakni CPO atau minyak sawit mentah. Kapasitas CPO nasional mencapai 38 juta ton pada 2017 sebanyak 7,21 juta ton, di antaranya untuk keperluan ekspor dan kebutuhan pangan nasional sebesar 8,86 juta ton.
Rencana pengembangan jangka menengah setelah program B20 ini, mandatori dilaksanakan non dan PSO adalah mendorong industri biofuel 100 persen.
Dia menyatakan, sudah ada teknologi untuk biofuel 100 persen, dan teknologi yang sama dengan fuel oil. Sehingga tidak mengganggu kondisi teknis dari kendaraan bermotor ataupun pembangkit dan yang lainnya.
Dengan demikian, pemerintah mendorong bahwa akan terjadi substitusi impor dengan biofuel atau biodiesel yang 100 persen itu sering disebut sebagai green diesel.
“Jadi, kita beralih dari bio 20 persen ke depannya jangka menengah, waktunya nanti pemerintah tentukan, menuju ke green diesel, 100persen diesel. Dengan demikian kita menjadi mempunyai daya tahan atau kemandirian,” jelasnya.
Pengelolaan biodiesel ini sepenuhnya dikerjakan di dalam negeri dengan mengoptimalkan bahan baku lokal. Dia meyakini, upaya tersebut akan mempunyai efek positif yang berantai terhadap 17 juta petani dan 17 juta pekebun.
“Jadi, inilah keberpihakan pemerintah agar kita terus mengembangkan ekonomi berbasis kemampuan sendiri,” tandasnya. *Se