Politik

Rabi'ah Al-Adawiyya (2) : Perempuan Suci Setelah Siti Maryam

Jami suatu ketika bertutur tentang seseorang yang ditanyai masalah Abdal. Berapa orangkah Abdal itu? Dan dijawabnya dengan menyebut 40 jiwa. Lalu yang bertanya menimpali kembali, mengapa anda tidak menjawabnya dengan 40 orang laki-laki? Lalu dijawab lagi, karena diantaranya ada wanita. Biographi tentang sufi seperti yang disusun oleh Abu Nu'aym, Farid al-Din Attar, Ibn al-Jawzi, Jamis dan Ibn Kahlikan selalu menyertakan keberadaan sufi-sufi wanita. Lengkap dengan kisah kehidupan, suri tauladan dan mukzizat yang mereka miliki. Beberapa ahli teologi Islam yang menolak keberadaan sufi ikut pula mencela ajaran dan suri tauladan sufi wanita, semasa hidupnya dan setelah kematiannya. Kedudukan sufi wanita yang tinggi dan mulia dibuktikan oleh kalangan sufi itu sendiri, ketika mendudukkan wanita sebagai pengajar serta pengembang tasawuf dan keimanan pertama setelah Rasulullah. Sufi wanita yang selalu disebut itu tak lain dan tak bukan adalah Rabi'a al-Adawiyya. Wanita ini berasal dari suku Al-Atik yang termasuk dalam suku besar Qays b.Adi. Ia juga dikenal dengan sebutan al-Qaysiyya dan al-Basriyya (Basrah, tempatnya lahir). Penulis biographinya, Attar, menuturkan Rabiah sebagai berikut: Ia mengasingkan dirinya hanya untuk menyatu dengan Allah. Diselubungi oleh kerudung keikhlasan terhadap agama, dan bara api cinta serta kerinduan terhadap Sang Pencipta. Keinginannya untuk mendekatkan diri dan memuji kebesaran Allah membuatnya tenggelam dalam penyatuan dengan-Nya. Rabi'ah adalah wanita yang diyakini oleh setiap umat Islam sebagai wanita suci kedua yang tanpa cela setelah Siti Maryam. Rabi'ah al-Adawiyya, semoga Allah menerimamu di sisi-Nya. Jika ada yang bertanya mengapa aku menggolongkan Rabi'ah dalam golongan pria, maka aku akan menjawab, bahwa Allah tak pernah memandang manusia dari sisi luarnya. Jika dua per tiga dari keimanan kita didapat dari Aisyah, maka tidak menutup kemungkinan pula untuk mengatakan, Rabi’ah, sebagai salah satu pembantu Aisyah, telah memberikan sumbangsihnya pada perkembangan ajaran Islam. Jika wanita melangkah dalam jalan Allah sebagaimana pria, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai wanita. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar