PP Gambut diamput. Itu sumpah serapah para pekebun kelapa sawit yang ada di Provinsi Riau. Para mantan transmigran yang sekarang kaya berkat sawit itu meluapkan amarahnya, karena hari-hari ini batin mereka digelayuti rasa resah gegara PP yang belum jelas juntrungnya itu.
Dulu karena kemiskinan mereka ikut transmigrasi dan ditempatkan di daerah yang masih berupa hutan. Melawan lapar dan mara-bahaya mereka bekerja keras untuk membangun masa depan.
Puluhan tahun kemudian mereka sejahtera. Rakyat tempatan juga mengalami perubahan ekonomi yang sama. Mereka mengakui itu berkat kelapa sawit. Sawit membuat mereka cukup sandang, pangan dan papan. Anak-anak mampu disekolahkan hingga perguruan tinggi.
Di kala mereka sedang menikmati itu, tiba-tiba saja ada aturan datang ‘dari langit’ yang bernama PP 57 yang lebih akrab disebut sebagai PP Gambut. Aturan dari Men-LHK itu melarang tanah gambut untuk ditanami. Padahal di tanah gambut itulah sebagian besar mereka bercocok-tanam.
Dengan berbagai beleid aturan itu wajib dipatuhi. Pemerintah Daerah masih menimbang untuk merealisasi. Para pakar mentah-mentah menyebut PP itu lahir akibat tekanan asing, karena tidak berdasar kajian ilmiah. Dan kini rakyat sedang menunggu ‘berontak’ jika sampai PP itu ‘mengusir’ mereka dari sumber penghidupannya.
Suasana tenang tetapi menegangkan itu yang kini terasa di balik keteduhan pelepah tanaman sawit. Kelesak-kelesik mulai terdengar. Inti pembicaraan adalah, bagaimana kembali mendengungkan isyarat ‘Riau Merdeka’ jika terus-terusan rakyat menjadi obyek penderita.
Ini sebuah wacana memisahkan diri, karena pemerintah pusat dianggap tidak membuat rakyat Riau tenang, tentram dan sejahtera. Ini reaksi keras terhadap kebijakan pusat yang justru menjadikan rakyat resah dengan aturan-aturannya.
Keresahan yang bisa menyulut ‘Riau Merdeka’ itu masuk akal. Berdasar data yang dirilis Bappeda Provinsi Riau (1995), luas lahan gambut yang ada di Provinsi Lancang Kuning ini mencapai 4.827.972 ha. Ini merupakan 51,06% dari luas lahan yang ada.
Lahan itu hampir semuanya sudah dibudidayakan. Nyaris tak ada yang tersisa. Semua menghasilkan berbagai jenis tanaman, utamanya sawit, kelapa dan yang lainnya. Bahkan di Kabupaten Siak ada pameo, saban tahun APBD tandas hanya untuk memperbaiki tembok-tembok yang rusak akibat tanah gambut.
Di Kabupaten Meranti lebih parah lagi. Kabupaten ini tanahnya didominasi tanah gambut. Tanah-tanah itu terbanyak dijadikan lahan untuk menanam kelapa, sebagian lagi ditanami kelapa sawit.
Jika sampai PP Gambut itu diberlakukan di kabupaten ini, maka Kabupaten Meranti bakal terhapus dari peta. Dia hilang dari kehidupan, dan mungkin bakal kembali menjadi rawa-rawa seperti alam purba.
Adakah pemerintah ‘mengusir’ rakyat dari tanah penghidupan mereka? Memang tidak mengusir. Bahasa yang dipakai adalah, rakyat akan direlokasi. Dipindahkan ke tanah mineral yang tidak bertentangan dengan aturan yang tertuang dalam PP Gambut. Tapi dimana? Punya kemampuankah pemerintah menyediakan tanah setara hampir 5 juta hektar itu? Rakyat meragukan.
Keraguan inilah yang memantik munculnya wacana untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tidak melakukan dengan agitatif dan mengangkat senjata, namun dengan cara damai, memisahkan diri dari ‘intervensi’ kebijakan pusat.
Dalam sejarah politik daerah Melayu ini teriakan ‘Riau Merdeka’ sudah terjadi berulangkali. Dikumandangkan di Jakarta, Siak, dan di Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. (Baca : Ini Gema Gerakan Riau Merdeka).
Kendati gema teriakan itu belum berdengung kencang, namun tidak menutup kemungkinan teriakan itu bakal menjadi gerakan mesianisme seperti di Pulau Jawa era kolonialisme. Gerakan Ratu Adil yang menuntut keadilan dengan cara-cara rakyat.
Warning Prabowo Soebiyanto ‘Indonesia bubar tahun 2030’, kendati berdasar novel fiksi , tetapi tidak boleh diniskalakan. Sebab dalam ‘Jangka Jayabaya’, isyarat serupa sudah lama diprediksikan. Dalam bahasa serat yang meramal masa depan itu disebut, Indonesia bukan bubar, tetapi terpecah menjadi lima bagian. Adakah Riau salahsatu bagian dari perpecahan itu akibat PP Gambut yang melahirkan keresahan massal di kalangan petani Riau? Djoko Su'ud Sukahar