Politik

Seks Caligula (7) : Kedamaian Drussila dan Birahi Sang Kakak

Malam merayap. Bulan tidak muncul. Kastil indah yang dikitari pepohonan lebat itu tampak kelam. Temboknya yang terbuat dari batu hitam, menambah kesuraman. Kastil itu bisa dikenali hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Serta lampu redup yang memenuhi sudut ruang. Drussila tidur nyenyak di kamar. Sprei putih berlapis-lapis, serta badcover dari bulu domba, menutup tubuh mulusnya. Wajahnya tenang, mulutnya terlukis sesungging senyum. Ia sangat damai di alam mimpi. Itu hanya saat tidur bisa dia nikmati. Secara phisik, gadis ini sangatlah bahagia dan sejahtera. Ia cucu raja, dan hidup serba berkecukupan. Tapi zaman berhala yang menaunginya, telah menempatkan gadis ini pada takdirnya. Ia harus menyaksikan berbagai kekejian, dan mengalami berbagai penderitaan. Ia dipaksa harus mengalami itu. Ia harus melihat bagaimana ayah dan ibunya dibunuh secara keji. Ia harus menyaksikan kekejaman bertahun-tahun di istana yang membuat hatinya goyah. Serta, dalam usia yang relatif muda itu, saban hari ia dijejali pemandangan erotis di lingkungan istana. Pesta seks tiap pekan. Kedamaian tidur Drussila itu amat kontras dengan kondisi Caligula. Laki-laki itu belum beranjak tidur. Ia hilir mudik mengelilingi ruang. Sesekali melongok kegelapan malam, dan kali yang lain menarik nafas panjang. Padahal biasanya, ia sudah mendengkur. Membaringkan tubuh di dekat adiknya, dan melepas kepenatan siang yang terasa begitu panjang. Laki-laki ini memang sedang digelayuti keresahan. Peristiwa siang tadi belum bisa hilang dari ingatannya. Bukan kesadaran sebagai kakak yang membuatnya resah, tetapi keindahan tubuh dan romantisme sang adik yang menjadikan hatinya terus gundah. Ia jadi kagok untuk berbaring di sisi Drussila. Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk tidur bersama adiknya. Sebab ia ragu. Mampukah tidak melakukan rangsangan pada gadis itu seperti malam-malam yang lalu. Sisi lain, kalau itu dilakukan, jangan-jangan adik yang juga orang paling disayang, serta teman bermain satu-satunya itu bakal marah. Dan itu artinya, ia akan kehilangan segalanya. Perang batin itulah yang membuat Caligula resah dan tak bisa mengatupkan mata. Malam terus merangkak. Di luar kastil, suara burung mulai bersahutan. Dingin menempel di jendela, dan terus merayap memenuhi ruang dalam puri tua ini. Caligula berdiri di balkon dekat peraduan Drussila. Kehangatan  menyusup di hati laki-laki ini. Ia pandangi wajah ayu adiknya. Ia berulang-ulang menarik nafas panjang. Sebab makin dipandang, yang muncul bukan wajah Drussila, tapi justru senyum Ennia, Sophia, Yulia, dan para wanita yang selama ini memberinya kenikmatan di ranjang. Jantung Caligula berdegup kencang. Nafasnya memburu, dan otaknya berpikir keras. Adakah ia mampu melawan nafsu itu? (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar