Politik

DR IR Wawan MP : PP Gambut Itu Lahir Akibat Tekanan Asing

PP 57 yang dikenal sebagai PP Gambut itu lahir akibat tekanan asing. PP ini terlalu dipaksakan dan tidak ada naskah akademiknya. Itu dikatakan Kepala Peneliti Gambut Tropis Lemlit Universitas Riau, DR Ir Wawan MP. Dan ironisnya, kata Wawan, dia yakin pemerintah tidak akan mencabut PP yang merugikan Indonesia itu. Sebab pihaknya sudah sempat mengajukan keberatan setelah melakukan pengamatan dan observasi, bahwa PP itu akan berpengaruh terhadap produktivitas. "Saya udah sampaikan di berbagai kesempatan pada saat menyusun RPPEG (turunan dari PP). Jadi masing-masing provinsi, kabupaten harus susun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). Untuk di Riau kan diminta ke LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UR, saya termasuk pengurusnya, penyusunnya.” “Terus pada berbagai kesempatan, saya sampaikan pemerintah itu tujuannya baik. Artinya dengan kasus kebakaran kita harus lindungi gambut. Tapi persoalan kemudian keluar angka yang 0.4. Kemudian masuk fungsi ekosistem gambut. Itu selain 30% yang 3 meter harus jadi hutan lindung. Nah ini yang saya jujur agak keberatan," katanya. "Yang 30% setuju, karena memang ini kan di puncak kubah, jadi tempat menyimpan air secara hidrologi. Kemudian juga tempat cadangan karbon, penyimpan plasma nutfah dan lain-lain, keanekaragaman hayati saya sangat setuju.” “Tapi pada saat yang di luar 30% masih gambut yang 3 meter harus menjadi fungsi lindung, bagi Riau barangkali berat. Karena gambut yang dalam itu di Riau mungkin sekitar 70%. Ini akan sangat berpengaruh terhadap ekonomi Riau," jelasnya. Menurut Wawan, yang menjadi persoalan lagi, setelah yang 3 meter masuk fungsi lindung, sebelumnya telah diberi HGU (hak guna usaha) atau konsesi. Itu berarti lahan ini boleh dibudidayakan. Dengan demikian, kalau boleh dibudidayakan, maka saat menanam sawit, akasia, pasti akan dibuatkan kanal. Tapi ini justru dikatakan merusak. "Nah, di PP 57 atau PP 71 ini kalau fungsi ekosistemnya itu fungsi lindung, kemudian ada kanal itu dikatakan rusak. Itu kan jadi makin susah. Sudah kehilangan areal untuk bertanam, kemudian harus memulihkan karena dianggap rusak," sesalnya. Kata Wawan, pemerintah harusnya lebih bijak. Pemerintah dalam menilai kerusakan itu harus jelas dulu kriterianya, ditentukan arahnya, dan ada naskah akademiknya dulu. "PP yang menilai tentang kerusakan itu ada PP 150 tahun 2000, itu mengenai produksi biomassa. Terus kerusakan karena kebakaran ada di PP 4 tahun 2001. Saya kira itu pun harus diperbaiki, karena beberapa itu tidak sesuai dengan bidang keilmuan saya, Ilmu Tanah. Tapi saya gak akan bahas bagaimana PP itu bisa lahir. Cuma kayaknya gak ada basic keilmuannya, naskah akademiknya gak ada," sebutnya. "Saya sedih betul, bagaimana ibu menteri ini kok tidak merangkul semua. Mestinya dirangkul semua, diajak bicara, dicari solusi terbaik. Saya yakin tujuannya baik, hanya mestinya ada masa transisi sebelum diterapkan," katanya. Menurutnya, jika memang cara, teknik atau teknologi pengelolaannya sudah berjalan baik dari sisi lingkungan, tidak menyebabkan emisi, subsidensi, kebakaran, kemudian produktivitasnya tinggi, silahkan dilakukan, sekali pun pada fungsi lindung. Kata Wawan, ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait ilmu tanah yang menjadi bidang keilmuannya itu. Dia yakin memiliki data sains dan teknologi yang mulai teruji yang bisa menjadi referensi untuk menyusun PP itu. "Kita kan ditugaskan oleh Menteri Kehutanan. Itu ada SK-nya untuk yang pertama mengevaluasi RAPP selama satu tahun. Kemudian keluar SK lagi untuk melakukan MRV (measurement, reporting and verification). Jadi kita pantau, oleh ahli-ahli dari seluruh Indonesia, dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, dari Lampung, dari Riau, kemudian dari Kalimantan, dari Jawa beberapa. Artinya kan kita punya data, kita punya sains, teknologi yang sudah mulai teruji. Ini mestinya kan menjadi referensi untuk menyusun PP itu. Tetapi PP ini disusun sudah lama. Banyak ahli yang memberikan masukan," sebutnya. Mengkaji sampai 4 atau 5 tahun RAPP dia yakin harusnya sudah bisa menjadi bahan rujukan. Tetapi pemerintah justru terkadang tidak mau mengajak berdiskusi. Menurutnya PP ini ada kaitannya dengan tekanan asing. "Coba semua ahli yang ada diakomodir, jangan hanya di hari-hari tertentu. Sebagai anak bangsa, sebagai pemerintah, sebagai penyelenggara negara, semua kan anak. Kalau misalnya ada anak yang dianggap tidak seberapa, gak boleh. Berbeda pendapat kan sah-sah saja. Tapi mari kita adu argumentasi berdasarkan data-data yang dimiliki, kita berbicara ilmiah. Jangan hanya karena kepentingan, karena tekanan asing, tekanan LSM internasional," katanya. dam


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar