Kelapa sawit tetap menjadi unggulan. Dan prospek ke depan semakin besar karena watak tanaman ini yang produktif. Sekali tanam, terus berbuah hingga tiga puluh tahun, hingga harganya menjadi murah dan gampang menguasai dunia.
Tanaman ini juga sudah terbantah tidak boros air apalagi sebagai tanaman yang dianggap biang keladi deforestasi hutan di Indonesia. Sebab faktanya, justru perkebunan sawit yang kembali menghijaukan ekologi dan ekonomi wilayah pasca illegal logging.
Selain produksi besar dan harganya yang lebih murah, produk hilirisasi sawit ragam varian. Ini yang membuat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menganggap sawit adalah ancaman. Bakal menjadi pilihan masyarakat dunia, dan menggoyahkan minyak nabati mereka yang telah bertahan se-abad lebih sebagai ‘raja’ minyak nabati di jagat raya.
Tapi begitu, setiap replanting ternyata petani selalu kesulitan dana. Memang sudah terjawab, bahwa itu akibat ‘sikap boros’ dan manajemen keuangan petani yang belum tertata, tetapi ini ada jalan alternatif untuk mengatasi itu. Yaitu tumpang sari meranti. Bagaimana itu bisa dilakukan?
Sawit Plus.com mengajak Dr Robin menguraikan penemuannya itu. Dia adalah peneliti agroforestry dari Balai Kehutanan SDA Provinsi Riau. Dia telah melakukan penelitian terhadap tanaman jenis Meranti Tembaga dan Pirang sebagai komoditi sisipan dalam pengembangan sawit ke depan.
Dia adalah lulusan S2 Ilmu Lingkungan UI dan S3 Ilmu Lingkungan UR (2015). Dia yakin hasil penelitiannya itu akan memberikan kontribusi bagi masa depan sawit. Baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi.
Secara ekologis, serapan karbon agroforestry Meranti Tembaga di antara sawit lebih banyak daripada kebun sawit monokultur. Secara ekonomis, dengan meranti akan menambah produktifnya lahan yang mempunyai nilai ekonomis berkelanjutan bagi masyarakat petani sawit.
Dan dari aspek sosial, akan terbina partisipasi masyarakat yang juga berkelanjutan. Tiga hal pokok inilah yang memicu DR Robin, bahwa dengan terintegrasinya agroforestriy Meranti pada kebun sawit monokultur, akan mampu mem-backup sawit di kemudian hari. Lantas seberapa besar potensi meranti ini dapat bernilai guna bagi masyarakat petani sawit sekaligus ramah lingkungan? Berikut petikannya:
Kapan Anda menemukan tanaman Meranti Tembaga di antara sawit ini ramah lingkungan?
Saya menemukan ketika memulai penelitian ini di Juli tahun 2013 sampai dengan Maret 2014. Lokasi berada di Desa Pasir Jaya Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Lahan yang ditanam Meranti Tembaga memang milik masyarakat lokal. Dengan cara menanam meranti ini di sela-sela kebun sawit. Dan ini sudah dimulai sejak tahun 2005. Ada sekitar 25 ha yang dikelola oleh petani swadaya.
Memang ini inisiatif masyarakat lokal?
Jadi ini merupakan areal model penanaman sawit di antara Meranti binaan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan, UPT Kemenhut. Model lain juga ada dikembangkan seperti Gaharu. Dan sebenarnya sejak tahun 1990-an wacana ini sudah mulai didiskusikan di lingkungan dinas.
Lantas Anda menemukan Meranti sebagai tanaman kayu yang tepat untuk mendampingi sawit. Bagaimana ceritanya?
Jadi saya melakukan sensus terhadap kepala keluarga yang melakukan penanaman agroforestry ini. Sebagai perbandingan juga dengan kepala keluarga yang tidak menanam meranti di antara sawit mereka. Ini saya lakukan karena 66% lebih masyarakatnya adalah petani. Terutama sawit, disamping karet, kelapa, dan kakao.
Hasil yang Anda dapatkan?
Secara umum, dengan menanam meranti di antara sawit ini, akan memunculkan kembali pertumbuhan tanaman hutan di alam. Kemudian pertumbuhannya tidak terpengaruh adanya sawit ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan, kalau sawit kan perlu pupuk, sementara Meranti tetap bersimbiosis, tak ada masalah dengan pertumbuhan sawit di antaranya. Begitu juga sebaliknya. Jadi lebih banyak keuntungan yang didapatkan oleh petani sawit yang melakukan agroforestry dibanding yang tidak melakukannya.
Sangat signifikan menurut Anda?
Bandingkan saja biaya kebun sawit murni biaya pengelolaan sawit monokultus selama siklus tanam atau 25 tahun sebesar Rp 135 jutaan sementara yang memakai agroforestry sebesar Rp 134 jutaan. Selisih memang tidak jauh, tapi nilai tambahnya lebih baik.
Nilai tambah yang Anda maksud?
Keuntungannya pertama; setelah 25 sampai 30 tahun sawit sudah kurang produktif harus dilakukan replanting. Untuk dananya bisa diambil dari kayu meranti yang mulai tebang. Jadi fungsi meranti ini adalah sebagai bank of replanting. Kita pilih jenis meranti pirang/tembaga atau shorea leprosula.
Kedua; jika program ini berhasil, maka skema carbon trade dijalankan, masyarakat pun dapat dana tambahan. Ketiga; mengubah sistem monokultur sawit dengan sistem polikultur.
Kenapa harus Meranti, apa betul ramah lingkungan?
Pertama; meranti ini endemic. Kedua; jenis perakarannya yang berbeda dengan sawit, akan meningkatkan sumber cadangan air tanah. Ketiga; hasil beberapa penelitian, pertumbuhannya relative baik. Keempat; dekomposisi daun dapat menyuburkan tanah, dan kelima; kayunya bernilai ekonomi tinggi yang menjadi bank of replanting.
Target dari penelitian yang Anda lakukan?
Secara pribadi ini menjadi semacam ‘cambuk’ bagi corporate besar seperti Riau Pulp dan Indah Kiat. Untuk mewajibkan bagi pemegang izin usaha perkebunan kelapa sawit, untuk mengalokasikan 1% dari luas areal usahanya agar ditanami jenis meranti endemic lainnya. Sebagai koridor, habitat, dan pengayaan biodiversitas.
Kemudian mencairkan suasana ego sektoral antara perkebunan dan kehutanan, karena sawit merupakan irisan dari kehutanan dan perkebunan, jadi, ini merupakan tree bottom line. Ditambah pelibatan berbagai pihak secara integrative untuk pengambangan agriforestry ini. mjp