Politik

Cendekiawan Riau : Sawit Tetap Primadona di Puluhan Tahun Nanti

Sawit menjadi primadona bagi warga Riau. Naik turun  harga sawit besar pengaruhnya bagi provinsi yang dulu punya unggulan  lain itu, yaitu minyak bumi. Namun ketika sektor minyak dan gas bumi (migas)  itu surut, maka pertumbuhan ekonomi di Riau lebih bertumpu pada sawit.  Terus bagaimana prospek ke depan? “Sawit masih tetap menjadi primadona di puluhan tahun nanti,”  kata  cendekiawan Melayu dan mantan Ketua DPRD Riau, drh. H. Chidir, MM pada SawitPlus.com. Ini petikan wawancaranya : Ekonomi Riau nyaris digerakkan kelapa sawit. Naik turun harga sawit besar pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat Riau. Menurut Anda, bagaimana prospek tanaman sawit ini untuk puluhan tahun ke depan? Membincangkan sawit sebagai komoditi, memang tak habis-habisnya. Ya, karena sawit di satu sisi banyak yang mengkhawatirkan perkembangannya terkait alih-fungsi lahan. Tapi di sisi lain semakin banyak masyarakat pedesaan yang  tertarik  membudidayakan sawit, meski harga sawit sempat anjlok Sebetulnya kita lihat dalam perjalanannya, ekonomi dari sawit masih primadona, karena harga masih menjanjikan. Indikatornya, kalau saja harga sawit sudah mencapai Rp 1500, maka ekonomi di desa  bergerak. Seperti apa perkembangan yang Anda tahu? Banyak sekali masyarakat kita di desa sudah terlibat dalam industri sawit. Membuka lapangan pekerjaan, pendidikan meningkat, hingga angkutan transportasi pun bergairah. Singkatnya, sawit memberi penghasilan masyarakat banyak. Tentang sinergitas korporasi dan petani swadaya? Ya, walau memang perkebunan sawit korporasi lebih besar, tapi malah sekarang petani swadaya yang paling besar mengolah kebun sawit. Hanya relatif lambat. Oleh karena itu, pihak pemerintah, kabupaten harus punya kepedulian membantu masyarakat desa. Karena masyarakat kita  masih sangat terpengaruh oleh korporasi besar di desa. Terus omong-omong soal gambut nih,  menurut Anda bagaimana. Nah, ini memang terkait dengan pembabat hutan. Jadi begini, gambut memang potensi pembanding yang nyata. Ada yang boleh ditanam, dan ada yang merupakan hutan lindung yang tidak boleh dialih-fungsikan. Namun sebenarnya kuncinya adalah regulasi dari pemerintah yang dibutuhkan, karena dinas kehutanan menjadi ujung tombak pemerintah. Solusi lain menurut Anda? Makanya institusi pemerintah kabupaten dan jajaran di bawahnya harus sering memberi kesadaran pada masyarakat, agar tidak lagi menjual lahannya begitu saja.  Sedang terkait dengan persoalan lingkungan, pemerintah yang punya kapasitas  menanganinya. Mengkaji secara objektif untuk menetapkan  batas  toleransi  dalam memberikan izin. Juga dengan kawasan DAS. Anda yakin itu tidak akan mengulang masa-masa sebelumnya? Ya, pada masa Orde Baru misalnya, memang kita tidak mempunyai kompetensi di bidang itu. Sehingga untuk pembangunan, penciptaan stabilitas politik, dilakukan secara otoriter. Karena waktu itu tidak ada investasi yang masuk, maka dibukalah kran investasi untuk pengelolaan hutan menjadi sawit.  Nah di era otonomi daerah, ini berubah sebagai harta karun. Terakhir nih, tentang kaitan masyarakat adat dan tanah ulayat. Terkait dengan masyarakat adat, tidak cukup menciptakan atau memperbaiki kehidupan di daerah menjadi lebih baik, karena itu kurang kuat. Komunikasi dengan pemerintah daerah harus dilakukan masyarakat adat sesering mungkin. Itu agar tidak sampai pembebasan tanah ulayat mengorbankan anak cucu kemenakan, eh ternyata  Ninik mamak ikut bermain. mjp


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar