Pernah terjadi peristiwa pengungsian massal di Banyuwangi. Rakyat berbondong-bondong memasuki Alas Purwo. Mereka mendirikan tenda, dan meyakini, bahwa hanya yang ada di tempat itu yang bakal selamat.
Peristiwa itu mengingatkan pada tragedi di zaman Nabi Nuh. Kerusakan moral telah menyelusup ke berbagai bidang. Akibatnya, perlu penyaringan. Porgatorio total. Hukum Tuhan diberlakukan. Kiamat !
Adakah kerusakan moral di zaman Nabi Nuh itu hari-hari ini telah menguasai manusia bumi? LGBT sebagai tanda yang menguati bakal datangnya hari akhir itu? Ini sketsa tentang kepanikan manusia yang terjadi di tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 itu.
Kapal Nabi Nuh
Kebejatan moral dan melanggar aturan agama makin sering terjadi di bumi. Tak terkecuali di zaman Nabi Nuh AS. Manusia telah menjadi binatang.
Tindak asusila merajalela. Sampai-sampai, anak melakukan hubungan badan dengan ibunya merupakan hal biasa. Anjuran Nabi Nuh tidak digubris. Dan Allah menurunkan wahyu, agar Nabi Nuh membuat bahtera (kapal).
Nabi Nuh melaksanakan wahyu Allah itu. Ia meminta kaumnya membantu membuat kapal besar untuk menyelamatkan umat, hewan yang ada, serta bibit tumbuhan.
Tapi Nabi Nuh malah diejek. Termasuk oleh putranya sendiri, Kan’an. Ia dianggap gila. Tidak ada hujan tidak ada angin, kok disuruh membuat kapal.
Bahkan tatkala banjir sudah mulai datang, kaumnya pun tak mau diajak naik kapal. Mereka beranggapan, naik ke puncak gunung bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi apa yang terjadi?
Tak lama setelah ajakan Nabi Nuh diabaikan, Allah secara tiba-tiba menurunkan azabnya. Banjir besar datang. Tak cuma kampung dan perbukitan yang tenggelam. Gunung yang menjulang tinggi pun tak tampak puncaknya.
Umat Nabi Nuh tak ada yang mampu menyelamatkan diri. Ludes beserta harta bendanya. Azab itu berlangsung cukup lama, 40 hari 40 malam. Yang selamat, hanya mereka yang naik kapal Nabi Nuh.
Allah menyelamatkannya. Mendamparkan kapal itu di atas gunung. Kendati, sebelumnya, gunung ini juga tidak luput dari terjangan ombak besar.
Mitos Nabi Nuh
Peristiwa yang tersurat di kitab suci itu ternyata tak cuma berhenti disitu. Di beberapa daerah Indonesia, mitos maupun legenda yang bersumber dari peristiwa itu tertanam di berbagai tempat.
Di Kepulauan Maluku, legenda sejenis dipercaya kebenarannya. Itu tersurat dalam The Son of the Sun yang mengisahkan tentang asal Pulau Seram. Malah di Pulau Timor, tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), terdapat perbukitan yang disebut Fatukopa.
Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Fatukopa artinya Batu Kapal. Kenapa disebut begitu? Selain karena bentuknya yang menyerupai kapal. Juga tertuang didalamnya, mitologi Kapal Nabi Nuh.
Masyarakat di Pulau Timor yakin, bahwa tempat kejadian perkara itu di daerah ini. Dan keyakinan seperti itu, kini terjadi di Pulau Jawa, tepatnya di Banyuwangi. Betulkah asumsi itu? Tak satu pun yang berani menjawabnya. Tak terkecuali para ahli sejarah.
Nostradamus
Adakah pandangan yang pesimistis itu hanya melanda Indonesia? Jawabnya ternyata tidak. Para ahli Nostradamus yang tersebar luas di dunia, juga punya keyakinan sama.
Pergeseran sumbu bumi akan terjadi di musim gugur tahun 1999 dan terus bergeser sampai musim semi tahun 2000. Pergeseran sumbu bumi itu akan menyebabkan gempa bumi besar dan meluas pada bencana alam yang mengerikan lainnya.
Nostradamus mengatakan, “akan ada pertanda di musim semi, dan perubahan luar biasa setelahnya, pembalikan negara dan gempa bumi raksasa. Dan ada di bulan Oktober gerakan bumi yang besar dan membuat kita merasa seakan-akan bumi telah kehilangan gaya tariknya dan bumi akan masuk ke jurang kegelapan yang terus menerus”.
Memang, banyak ahli yang mengkaitkan ramalan ini dengan beberapa kuatrain yang juga memperingatkan adanya goncangan global yang terjadi menjelang abad ini:
“Matahari di dua puluh derajat Taurus akan terjadi gempa bumi besar. Teater besar, penuh, akan hancur. Kegelapan dan kekacauan di udara, langit dan tanah saat mereka berteriak-teriak memohon pertolongan Tuhan”.
Adakah ramalan Nostradamus itu akan kembali menjadi kenyataan, seperti ramalan-ramalan yang diungkapkan sebelumnya? Tak ada yang bisa menjawabnya. Hanya, sebagai mahluk yang sama-sama mendiami bumi, kita berdoa agar ramalan itu tidak terbukti. djoko su’ud sukahar