Politik

Patokan Harga CPO Harus Rupiah, Bukan Ringgit Malaysia

Transaksi minyak sawit mentah masih dengan Ringgit Malaysia. Padahal eksportir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dunia adalah Indonesia. Untuk itu Siswono Yudhohusodo meminta Pemerintah Indonesia memperjuangkan itu. Hingga saat ini, transaksi untuk bisnis CPO masih dalam bentuk Ringgit. Ini yang membuat mata dagangan itu juga ikut terpengaruh fluktuasi Ringgit. Misalnya pada penurunan CPO di bulan Juli 2017 yang melorot tajam dan berpengaruh terhadap harga beli Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sawit Indonesia. Ucapan Siswono itu sudah diungkapkan tahun 2013, ketika mendekati KTT APEC di bulan Oktober tahun itu. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem yang mantan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR itu menyuarakan gagasan itu. Indonesia harus bisa menekan Amerika Serikat dan Eropa untuk mengganti patokan harga CPO dengan Rupiah, bukan Ringgit. "Selama ini Indonesia menjadi negara terbesar dalam produksi kelapa sawit sejak lima tahun terakhir. Namun patokan harga CPO dunia malah memakai ringgit Malaysia, bukan rupiah," kata Siswono kala itu. Sebagai negara terbesar produsen CPO, kala itu Indonesia memproduksi CPO di tahun ini sebesar 25 juta ton. Sedang Malaysia hanya 18,9 juta ton. “Sebagai pemain terbesar, Indonesia harusnya lebih dominan dalam komoditas ini. Konsumsi minyak kelapa sawit di dunia sendiri meningkat sebanyak 7 persen setiap tahunnya. Harusnya Indonesia lebih agresif,” tambahnya. Harga minyak kelapa sawit dunia itu kini sudah melebihi tiga kali lipat biaya produksinya dalam beberapa tahun terakhir. Dan ini tidak terjadi dengan komoditas lainnya di Asia dalam beberapa dekade. Komoditas nabati dunia sekarang didominasi oleh tiga jenis komoditas, yakni sawit, canola, dan soybean (Kacang Kedelai). Pasar sawit mayoritas terdapat di Asia, komoditas Canola mayoritas terdapat di Eropa, dan mayoritas komoditas soybean terdapat di Amerika Serikat. Komoditas sawit lebih kompetitif dan efisien. Itu jika dibandingkan dengan komoditas canola dan soybean. Untuk itu, menurut Siswono, dia menduga, ini alasan Amerika dan Eropa menekan pasar sawit di Asia. “Ini ekspresi ketakutan mereka. Dan itu yang membuat Amerika dan Eropa menahan komoditas sawit,” kata Siswono. jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar