Politik

Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rahman : Sampai Kapan pun Kita Tetap Pertahankan Sawit

Bicara kelapa sawit, tak dipungkiri, sama dengan membicarakan perekonomian Riau dan nasional. Kendati dari provinsi ini masih ada migas, perkebunan karet dan kelapa, tetapi harganya yang fluktuatif menyebabkan sektor itu tak sekokoh yang diduga. Bumi Lancang Kuning masih bertumpu dari kelapa sawit yang tumbuh subur, dan dari Tanah Melayu ini pula produk sawit menguasai dunia. Riau adalah produsen terbesar sawit skala nasional. Di tahun 2015 saja, produksi yang ditimba dari Riau mencapai 7,84 juta ton. Dan 39,31% PDRB-nya bersumber dari sektor pertanian serta industri pengolahan, yang didalamnya didominasi kelapa sawit. Data yang dirilis Bank Indonesia (BI) menyebut, sebanyak  167 dari 219 perusahaan dalam industri makanan   menyerap  tenaga kerja  sekitar  70,60% dari total tenaga kerja industri besar dan sedang. Dan dari sana terpampang angka 61,47% ekspor Riau itu berupa minyak dan  lemak nabati, serta 91,20% Fixed Vegetable Oils & Fats yang diekspor ke Tiongkok, MEE, India, dan ASEAN.E Begitu berperannya sawit terhadap perekonomian Riau. Maka ketika sektor ini terus digoyang, ada banyak pesan yang bernada pesimistis. Ekonomi Riau tak lama lagi bakal ambruk. Sebab minyak bumi harganya anjlok dan cadangannya semakin menipis, sisi lain,  sektor pariwisata yang berusaha dikembangkan belum terlalu menjanjikan. Untuk melihat prospek ekonomi Riau ke depan, dan menyikapi berbagai tekanan, utamanya yang dilancarkan negara-negara Eropa terhadap sokoguru perekonomian Riau, SAWITPLUS mengajak orang nomor satu di Riau ini berdiskusi soal itu. Inilah wawancara lengkapnya dengan Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman. SAWITPLUS : Ada rekomendasi Eropa, agar perkebunan sawit ditebang digantikan bunga matahari, bagaimana Bapak menyikapi. GUBERNUR :  Kita tidak akan menggantikan sawit dengan sektor lain. Sawit dan Migas di Riau ini sektor yang sudah matang dan tetap kami dorong. Tapi bagaimana pun juga tetap harus diikuti dengan sektor yang baru. Provinsi mendorong kabupaten dan kota untuk mengatasi semua itu. Pemkab itu kan ada dinasnya. Instansi inilah yang kami dorong untuk bagaimana strategi mereka supaya masyarakat tetap mempertahankan potensi ini. Memang Pemprov mendorong pengembangan di sektor lain, tetapi sawit tetap harus ada. Jangan nanti setelah sektor lain tumbuh, misalnya, pertanian berkembang dan lebih menjanjikan, masyarakat ramai-ramai malah mengganti kebun sawitnya dengan sektor itu. Ini yang saya maksud Pemkab harus punya strategi melalui dinas-dinasnya untuk mengatur Itu. Dinas harus monitor. Apa kendala yang dialami masyarakat. Itu yang harus dibantu untuk mencarikan solusinya. SAWITPLUS : Apakah memang ada pihak-pihak yang berusaha ‘mengalihkan’ tumpuan perekonomian Riau itu? Bukan cuma yang berasal dari rekomendasi Eropa? GUBERNUR : Ya, memang saat ini sudah ada beberapa asosiasi pertanian dan perkebunan yang mulai mengarahkan masyarakat supaya tidak hanya tanam sawit, tapi juga meminta agar dibuka sektor pertanian lain untuk menunjang perekonomian masyarakat. Dan kami tahu, memang ada banyak daerah yang berpotensi dikembangkan untuk tujuan itu, seperti di Kabupaten Siak dengan potensi gabahnya. Kami membuka seluas luasnya investor baru untuk menggarap potensi yang ada di Riau. Baik sawit maupun perkebunan lainnya. Terutama dorongan kepada investor yang ingin menggarap hilirisasi. Sebab potensi ini masih berpeluang sangat besar. Karena di Riau untuk bahan baku sendiri sudah sangat mencukupi. Tapi yang paling penting bagi Riau, ekonomi masyarakat itu bergerak. Selain itu, tentu, kami juga mendorong pelaku usaha untuk menggerakkan sektor sawit. Sebab kalau pelaku usahanya itu bergerak, maka uang akan berputar di situ dan itu akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tapi  jangan salah. Sampai kapan pun kami akan tetap mempertahankan sawit. Tapi juga mengembangkan sektor lain yang menopang perekonomian masyarakat selain sawit. Kan tidak masalah kalau kita memperbanyak sektor penunjang perekonomian masyarakat itu. Awalnya kebun sawit, pemerintah yang mendorong. Termasuk migas, awalnya kan pemerintah juga yang mendorong. Kini sudah tumbuh dan berkembang menjadi bisnis yang matang. Begitu juga dengan perkebunan. Sekarang pemerintah mendorong sektor pariwisata, perikanan dan perkebunan. Semuanya itu ada potensi untuk dikembangkan di Riau. SAWITPLUS : Provinsi ini sangat kaya. Banyak provinsi lain menyebut, kekayaan Riau itu berasal dari letaknya yang strategis, berada di atas minyak dan di bawah minyak. Atas minyak sawit, bawah minyak dan gas bumi. Terus menurut Bapak Gubernur apa kendalanya. GUBERNUR : Ya, sebenarnya uang yang beredar di Riau cukup besar, bahkan mencapai triliunan rupiah. Tapi sayangnya, uang tersebut lebih banyak lari ke luar Riau karena masih minimnya usaha kecil dan menengah yang bisa menampung. Peluang ini ke depan harus kita maksimalkan. Usaha kecil dan menengah harus sama-sama kita dukung agar tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, kita harapkan ekonomi Riau dapat tumbuh lebih baik, salah satu caranya diharapkan ada muncul pengusaha kreatif yang mampu mengelola itu. Dana itu juga bisa disalurkan untuk kelompok tani yang bergerak di sektor sawit. Memang, pertumbuhan ekonomi Riau dalam dua tahun terakhir kurang menggembirakan terutama akibat turunnya harga migas dan komoditi kelapa sawit di pasaran dunia. Migas dan kelapa sawit selama ini menjadi andalan utama di Riau. Tapi ini bisa kita kembangkan lagi. Di Riau ini terdapat jutaan keluarga petani perkebunan sawit dan sebagian kecil perkebunan karet. Mereka menggantungkan kehidupan dan perekonomian mereka di perkebunan tersebut yang selama ini harganya selalu tergantung pihak asing. Selama ini harga sawit dalam negeri khususnya di Riau, selalu bergantung dengan permintaan pasar internasional, dan seperti diatur oleh pihak asing. Maka saya sering berfikir, jika kita bisa mengatur harga sendiri, itu akan lebih menguntungkan petani dan ekonomi nasional. Ini yang patut untuk diperjuangkan. Sebab sepanjang harga tandan buah segar (TBS) sawit hingga CPO atau minyak mentah kelapa sawit berada di pihak asing, maka akan sangat merugikan para petani. Untuk itu, menurut saya, ke depannya yang harus diperjuangkan adalah, bagaimana Pemerintah Pusat bersama dengan pemerintah daerah dan pengusaha serta petani, duduk bersama agar melakukan penetapan harga TBS dan CPO. Jika ini dilakukan secara bersama-sama, maka akan jauh menguntungkan dibandingkan migas yang terus mengalami penyusutan produksi. SAWITPLUS : Terus bagaimana dengan PP Nomor 57 tahun 2016. Apakah itu perlu dilaksanakan atau tidak? Jujur, secara umum, memang agak berat untuk menerapkan PP nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Karena jika PP itu diterapkan, maka akan berdampak terhadap perekonomian Riau. Sangat berdampak terhadap petani sawit dan pengusaha kelapa sawit di Riau. Pemprov Riau khawatir dampak ekonomi yang akan timbul jika pelaksanaan regulasi itu diberlakukan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan harmonisasi terlebih dahulu. PP 57 tahun 2016 itu sangat berkaitan dengan badan usaha dan bisnis perkelapasawitan di Riau. Jika aturan ini diberlakukan, maka dampaknya berpengaruh besar terhadap produksi sawit, yang tentu juga ikut mengganggu Pendapatn Asli Daerah (PAD). Pada prinsipnya, bentuk keberatan itu sebenarnya sudah dilayangkan ke Kementerian Lingkungan Hidup (LHK). Kendati di sisi yang lain, Pemprov Riau itu adalah perpanjangan pemerintah pusat, yang dengan terpaksa harus menjalankan regulasi itu. Untuk itu hingga saat ini, upaya untuk mencari jalan keluar masih akan dilakukan. Sebab aturan itu nantinya akan sangat berdampak pada PDRB Riau dan nasional secara keseluruhan. Sebab kita tak bisa mengingkari, bahwa perekonomian Riau untuk saat ini masih sangat bergantung pada kelapa sawit. SAWITPLUS : Nah, kembali lagi soal rekomendasi Eropa, yang menyuruh tanaman sawit dibabat untuk digantikan tanaman bunga matahari. Bagaimana tanggapan Bapak Gubernur? Itu tergantung dari wilayahnya. Ini menyangkut berbagai hal. Bunga matahari itu cocok untuk negara yang mempunya iklim empat musim. Kalau kita di daerah yang dilintasi garis katulistiawa ini juga punya komoditi unggulan. Seperti sawit kan komoditi unggulan di daerah katulistiwa. Jadi saya rasa hal seperti Itu tergantung dari wilayahnya masing-masing. Cuma karena ini kebijakan secara nasional, maka apa yang diputuskan nasional itu yang pasti kami ikuti. Tapi kan logika kita seperti itu. Jadi kalau kadang ada yang memaksa kami melakukan itu, LSM misalnya, maka saya berharap LSM berpikir rasional dengan kondisi negara masing-masing. Dan kita juga punya kewajiban untuk menjaga produk negara kita. Melba/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar