Politik

Bendum GAPKI : Waspadai Malaysia yang Suka 'Nyalip di Tikungan'

Pasar kelapa sawit makin kinclong. Selain pasar yang sudah ada, kini juga mulai terbuka pasar-pasar baru. Ini yang membuat Kanya Laksmi Sidharta, Bendahara Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) optimis, bahwa ke depan sawit Indonesia akan semakin dibutuhkan. Optimisme itu ditopang oleh kenyataan, bahwa produksi sawit dan turunannya dalam negeri juga mencatatkan hasil yang menggembirakan. Bahkan untuk produksi bulan September tahun 2017 mencatatkan rekor hingga 4,03 juta ton. Menurut Laksmi, pembukaan pasar baru itu (bisnis to bisnis) mudah dilakukan. Sebab industri sawit sudah melakukan sebelum pemerintah berperan aktif di kelapa sawit. Sekarang yang harus dilakukan adalah G to G, hubungan bilateral, hubungan antara negara dengan negara. Hubungan antar pemerintah itu untuk mengukuhkan pasar dan permintaan kelapa sawit di beberapa negara. “Dan ini untuk Pakistan sudah kita perpanjang. Tinggal dengan negara-negara lain,” katanya pada Sawitpus.com Menurutnya, mekanisme serupa akan diterapkan pada negara-negara lain untuk membuka pasar yang lain, ke Rusia, misalnya, terutama yang spesifik, yaitu bilateral. “Dan kami sudah kumpulin negara tujuan ekspor terbesar untuk menyelesaikan masalah ini,” tambahnysa. Kata Laksmi, pangsa pasar baru itu menurutnya diurutkan saja dulu. Mana yang potensial untuk dilakukan kerja sama. Itu yang kita sasar, seperti India, China, Eropa. Nah, untuk Pakistan, Amerika, Rusia ini akan jadi target pasar. Kalau sudah demikian dengan sendirinya pasar lain juga bermunculan,” ujarnya. Tentang adanya persaingan antar negara, menurutnys, semuanya akan selesai melalui proses waktu. “Saya yakin kita akan menang, karena semua negara ini butuh sawit. Cuma kita harus waspadai Malaysia. Negara ini selalu mengikuti langkah kita, tetapi selalu menyalip di tikungan,” tuturnya. Yang disebut menyalip di tikungan, karena Negeri Jiran itu acap memanfaatkan isu yang berkembang dan memanfatkan untuk kepentingan negerinya sendiri. “Seperti ketika India menaikkan bea impornya hingga 100%, India sudah duluan ke Mumbay untuk ‘memanfaatkan’ itu. Padahal kita ini kan sama-sama produsen minyak sawit terbesar di dunia,” ungkapnya. Tentang sustainable, menurut Laksmi, itu merupakan persyaratan global. Dalam menyikapinya, masing-masing negara punya karakter sendiri untuk kerjasama. “Tapi, ini yang harus dipahami negara dan industri sawit. Sebab beberapa persyaratan itu penting untuk keberlangsungan industri sawit ke depan,” tambahnya. “Yang jelas, kami mendorong dan mendukung sepenuhnya apapun yang dipersyaratkan, asal ada dampak balik ke industri kelapa sawit dalam negeri,” pungkasnya. mel/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar