Politik

Pengamat Nilai Demokrasi Indonesia Bisa Tidak Sehat

Presiden RI, Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. (Int)

JAKARTA - Pengamat Politik Syamsuddin Haris menilai masuknya Partai Gerindra ke dalam kabinet kerja jilid II Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf sebagai demokrasi yang tidak sehat. Ia mengatakan untuk apa diadakan Pemilu bila hasil akhirnya kekuasaan dibagi menjadi dua.

"Buat apa kita mengadakan pemilu kalau ujung-ujungnya kekuasaan itu dibagi antara yang menang dengan yang kalah, ya artinya kalau kompetisi sepak bola semua dapat piala," ujar Syamsuddin di Cikini, Jakarta, Selasa (22/10/2019).

Syamsuddin menambahkan hal ini bisa membawa negara kita seperti disampaikan Prof Soepomo pada saat sidang BPUPKI pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu model negara integralistik atau model negara kekeluargaan. Hal ini sungguh-sungguh mengancam demokrasi negara menurut Syamsuddin, karena di dalam konsep negara kekeluargaan tidak ada yang namanya oposisi semua itu keluarga.

"Makanya ada kompetisi di dalam Pemilu Presiden, yang menang berkuasa yang kalah ya legowo jadi oposisi. Itulah mestinya demokrasi kita yang sehat, bukan kemudian diajak masuk semua sampai tidak ada partai oposisi," tambahnya.

Politik seharusnya menghargai posisi masing-masing baik itu sebagai koalisi ataupun oposisi. Politik juga harus menjunjung tinggi sportifitas.

"Seharusnya otoritas presiden dipagari oleh nasionalitas demokrasi dan moralitas publik tentu saja mestinya Pak Jokowi tidak sudah mengajak Gerindra ke dalam kabinet, dan sebaliknya mestinya Pak Prabowo dan teman-teman menolak ajakan itu," katanya.

Nantinya, menurut Syamsuddin, bila Jokowi benar-benar menerapkan model negara kekeluargaan tidak akan ada lagi batas antara negara dan masyarakat karena semuanya menyatu. Oleh karena itu tidak ada hak bagi masyarakat untuk menuntut hak politik dan hak hukumnya kepada negara. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar